Sistem Informasi Desa Gerduren
BAB I.
PENDAHULUAN
1.
Gambaran Umum Desa
Desa Gerduren adalah sebuah desa yang terletak di wilayah kecamatan
Purwojati, untuk menuju ke Desa Gerduren dari Kota Kecamatan berkisar 7 km, dan
jarak tempuh dari kota Kabupaten berkisar 34 km.
Berdasar Inpres
Tahun 1995 Desa Gerduren masuk dalam katagori Desa Tertinggal, jika dilihat
dari letaknya yang diapit oleh sumberdaya hutan seharusnya menjadi desa yang
makmur tetapi karena tak dapat memanfaatkanya maka desa ini menjadi sangat
tertinggal dibanding dengan desa-desa lain disekitarnya, sungai tajum yang
mengalir membingkai batas desa namun karena persoalan geografis desa ahirnya
juga tak mampu dimanfaatkan airnya, bahkan saluran irigasi yang melintas di
punggung Desa juga tak setetespun membasahi sawah ladangnya ahirnya masyarakat
dengan berat hati harus menerima predikat sebagai Desa tertinggal. harapanya
Inpres tersebut dapat dijadikan media untuk mengejar ketertinggalanya dengan
desa desa lain disekitarnya, akan tetapi harapan ini menjadi harapan yang percuma
karena sampai saat ini kondisi infrastruktur dasa pun masih sangat jauh dari
harapan bahkan semenjak desa ini berdiri sampai tulisan ini diturunkan jalan
utama menuju kecamatan belum juga dibangun sehingga untuk menuju kecamatan
harus memutar melewati wilayah kecamatan Jatilawang.
Namun demikian
sebagai orang Jawa, penduduk Desa Gerduren meskipun hidup dalam serba
tertinggal dan telah banyak warna yang melukis dinamika kehidupanya, sebagian besar masih tetap bersyukur dan tak
meninggalkan adat istiadatnya, pembuktian pendapat ini dapat dilihat dari
semangat gotong royongnya, toleransi, unggah ungguh, upacara adat dan ritual
ritual kejawen yang masih terus dijaga.
Beberapa upacara
adat yang masih di jaga oleh sebagian besar masyarakat Desa Gerduren antara lain
: Sedekah Bumi, Nyadran, Suran, perkawinan, upacara kematian, upacara bayen dan
pamali yang masih terus diyakini dan dipatuhi oleh masyarakatnya.
Hubungan komunitas satu dengan kelompok kelompok yang lain di Desa Gerduren
dalam membahas kepentingan umum masih cukup harmonis, Rukun Tangga menjadi satu
sistem yang telah digunakan sejak lama dimana semua anggota masyarakat dalam
satu bulan akan bertemu pada selapanan RT tanpa membedakan keyakinan, golongan,
partai politik maupun kepentingan masing masing.
Karena
perekonomian desa didominasi oleh pertanian tadah hujan sementara sektor
ekonomi yang lain sangat minim, letak desa yang jauh dari pusat kegiatan
ekonomi (pasar) dan terisolasi, maka urbanisasi menjadi pilihan untuk merubah
nasib masyarakatnya teruama para pemuda pemudinya.
Kepentingan partai politik yang pada masa lampau menjadi ajang
perselisihan, persengketaan bahkan perang saudara sekarang hanya menjadi ajang
hiburan belaka bagi masyarakat. Hasil diskusi informal antar penggiat partai
politik di desa Gerduren telah menumbuhkan kesadaran umum bahwa paratai hanya
menjadi alat orang-orang yang berkeinginan menjadi pemimpin atau wakil rakyat
semata, pada ahirnya perhelatan pemilu yang mestinya penting bagi perubahan
kehidupan masyarakat hanya digunakan sebagai ajang saling memanfatkan antara
masyarakat dengan para calon.
Desa Gerduren sesungguhnya banyak sekali potensi seni yang dapat
dikembangkan, dari kesenian tradisionil seperti lengger, ebeg, sintren, aksi
muda, rodad, rinding bongkel juga kesenian modern lainya sering diperagakan
oleh masyarakatnya.
Melalui kesenian
lengger desa Gerduren telah banyak membantu beberapa orang menjadi seorang
doktor, bahkan dari Gerdurenlah banyak gending-gending Banyumasan dilahirkan,
namun potensi ini juga tak mampu menghadang laju modernisasi asing sehingga
dapat menjadi kekuatan desa untuk mengejar ketertinggalanya, bahkan karena
pengaruh dinamika global, kesenian lngger yang menjadi aikon Banyumas kini
terancam punah bahkan di Gerduren sendiri para pemuda sangat kurang minatnya
untuk menggeluti kesenian ini.
Pemerintahan desa yang mestinya menjadi regulator, dinamisator dan
fasilitator bagi pengembangan potensi dan sumberdaya desa ternyata juga tak
mampu berbuat banyak meski jumlah aparatur desa Gerduren sebanyak 15 orang yang
sebagian besar masih muda dan dibantu oleh lembaga desa lainya secara swadaya
maupun program telah banyak melakukan upaya perubahan, akan tetapi karena
keterbatasan, kemampuan dan fasilitas yang minim maka belum juga mampu membawa
perubahan yang lebih baik.
2. Jaman Kesultanan Jawa (1789);
Pada masa sebelum beridirinya kerajaan di Jawa, Desa
Gerduren belum terbentuk masih menjadi tanah merdeka yang belum banyak dijamah
karena letak geografisnya yang di lingkari oleh sungai dan bukit-bukit membuat
wilayah ini terisolasi, kondisinya sebagian besar masih berupa hutan, penghuni
yang ada hanya berada di sepanjang bantaran sungai tajum dan sebagian kecil
jauh disebelah utara sungai tajum di lereng gunung (sekarang Nduren/Desa Lor),
yang secara kewilayahan tanah merdeka ini masuk kedalam wengkon kademangan
Jambu.
Secara teritori desa ini dibagi menjadi tiga wilayah interaksi: Grumbul
Karang Tengah adalah Jengkal tanah yang
berada di antara dua sungai, masuk dalam wilayah interaksi Jatilawang.
Grumbul Glempang letaknya di bantaran sungai tajum disebelah barat
pegunungan Garbunder, interaksi
masyarakatnya berkembang dari wilayah barat sungai tajum (Jambu, Banteran,
Klapagading, Wangon dll), sementara Grumbul Nduren terletak di sebelah utara
jauh dari sungai tajum di lembah gunung Nduren disebelah timur pegunungan
Gerbunder, masyarakatnya berkembang berawal dari wilayah utara, tapak tilas
interaksi warganya yang berkembang dengan masyarakat di wilayah utara
(Karangtalun, Kaliurip dll sampai Karanglewas).
Percepatan penduduk terjadi di grumbul Nduren/Desa Lor dengan kehadiran
orang-orang baru dari wilayah selatan sungai tajum dan wilayah utara nduren,
seiring perkembangan sejarah di Jawa kondisi ini mempengaruhi perkembangan di
wilayah ini pula, dari mulai, seni, adat istiadat bahkan politik masyarakat
berkembang dinamis seirama dengan perubahan yang terjadi.
BAB II
SEJARAH ASAL USUL
DESA (CERITA RAKYAT)
1. Jaman HB I - II (1789);
Dari hasil putaran FGD tentang Asal Usul Desa Gerduren yang di prakarsai
oleh Pokmas Sekar Wigati di dapatkan hasil Penelusuran tentang perjalanan tiga
orang pemuda kakak beradik anak dari Ki Demang Bagelen (Purworejo) yang salah
satunya bernama Ki Warga Dipa.
Mereka
meninggalkan Bagelen karena merasa putus asa sebab dari ketiga anaknya yang
masih muda -muda ini oleh bapaknya tidak ada satupun yang dipercaya dan
diangkat menjadi lurah di wilayah Bagelen.
Perasaan dendam
menyelimuti mereka bertiga pada seorang abdi yang baru saja diangkat menjadi
lurah sehingga pada suatu hari kakak beradik ini nekat membunuh salah seorang
Lurah yang baru saja diangkat oleh Bapaknya itu, kemudian setelah membunuh
mereka bertiga pergi tanpa pesan meninggalkan Bagelen, meninggalkan ayah dan
ibunya.
Pada suatu malam
mereka bertiga benar-benar pergi
meninggalkan Bagelen menuju ke arah selatan menaiki hutan dan turun bukit
hingga sampailah dia di tetepi pantai selatan, lalu dia berjalan menyusuri
pantai selatan kebarat, menyusuri kampung-kampung di pantai selatan hingga
sampailah mereka di Desa Mentasan Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap,
sesampai di Mentasan mereka menetap beberapa waktu, akan tetapi sebagai
pelarian mereka merasa khawatir kalau keberadanya di ketahui karena disitu
banyak sekali orang asing yang mendarat dan berbahasa jawa dialek wetan, maka
mereka tidak menetap disana tetapi
mereka meneruskan perjalananya menuju arah utara hingga sampai di
perkampungan Canduk, disanalah mereka bertiga menetap selama 4 tahun. (Menurut
cerita masyarakat desa Mentasan itu diberi nama Mentasan karena disitulah
tempat mentasnya (mendaratnya) para pengembara yang menggunakan perjalanan
laut/pantai.)
Salah satu dari
mereka yaitu Ki Warga Dipa adalah anak kedua Demang Bagelen yang kemudian
berumahtangga dengan perempuan Canduk sampai memiliki dua oarang anak, untuk
menghidupi keluarganya Ki Warga Dipa berprofesi sebagai petani dan beternak
warisan dari mertuanya di Canduk,
Kakanya dan
adiknya masih belum mau berumah tangga karena menganggap perempuan Canduk tidak
ada yang pas dikawininya, sebenarnya kakaknya yang tertua punya keinginan untuk
melamar anaknya sang Demang Canduk, akan tetapi ketidak jelasan asal usul
mereka membuat lamaranya ditolak oleh Ki Demang Canduk. Rasa kecewa dan sakit
hati pada Demang Canduk telah membakar emosi mereka.
Dalam keseharianya
mereka berdua membantu Ki Warga Dipa bertani, akan tetapi kebiasaanya di
Bagelen sebagai orang terpandang mebuat mereka merasa tidak cukup dan tidak
pantas menjadi petani, ditambah dengan sifat kakaknya dan adiknya yang
ugal-ugalan, maka rasa dendam pada Ki Demang Canduk yang menolak pinanganya
menorehkan rasa sakit hati, kemudian mereka bertiga merencanakan untuk merampok
Ki Demang Canduk untuk membalas dendam atas penolakan lamaranya itu, juga agar
bisa mendapatkan hasil lebih yang rencananya hasil rampokanya itu akan dipakai
untuk melamar gadis Canduk oleh adiknya yang ragil.
Demang canduk
ini terkenal digdaya dan sangat disegani oleh penduduk di wilayahnya,
kedigdayaan itulah yang membuat dua orang kakaknya dan adiknya merasa tidak
berani menghadapi Ki Demang Canduk, maka mereka meminta bantuan pada Ki Warga
Dipa untuk membantunya.
Pada suatu malam
berangkatlah mereka bertiga, dengan membawa senjata pedang, sesampai di rumah
sang Demang kedua kakak dan adiknya langsung menerobos masuk kedalam rumah,
namun apa yang terjadi, kedatangan mereka diketahui oleh sang Demang yang belum
tidur saat itu, tentu saja terjadilah perkelahian sengit sampai kemudian
terjadi rajapati karena si pemilik rumah melakukan perlawanan dengan gigihnya,
Ki Demang Canduk kakinya patah oleh pedang kakaknya, oleh adiknya Ki Demang di
tikam dari belakang, Ki Demang jatuh tersungkur, dikuraslah harta milik Ki
Demang Canduk itu dibawa lari masuk kehutan.
Peristiwa itu
kemudian menggerkan Canduk, semua warga secara bersama-sama mencoba mengejar
mereka bertiga kesegala arah.
Suasana desa
sangat ramai titir terus bertalu (kentongan) mengudang masa, Mengetahui situasi
tidak memungkinkan kembali kerumah, maka mereka mengeluarkan seluruh kekuatanya
untuk terus berlari menelasak hutan,
sesekali mereka berhenti untuk mendengarkan suara kentongan, kalau suara
kentongan masih terdengar berarti masih merasa dekat dengan desanya, mereka
kembali berlari dan terus berlari, barulah ketika suara kentongan tidak lagi
kedengaran mereka berhenti untuk menghela nafas sambil terus berjalan
pelan-pelan, ketika merasa yakin betul bahwa sudah jauh dari jangkauan
pengejaran barulah mereka beristirahat.
Ditengah
belantara sambil beristirahat mereka duduk dan membagi-bagi hasil rampokanya
itu, setelah selesai membagi hasil rampokanya
baru kemudian mereka tidur
berdampingan di tengah hutan sampai pagi menjelang.
Ketika hari
sudah pagi mereka mengatur siasat dan merencnakan nasib hidup berikutnya dan
ahirnya mereka memutuskan untuk berpisah sebagai muslihat untuk menghilakan
jejak, kakaknya yang tertua memutuskan turun ke utara menuju perkampungan
(sekarang Desa Gumelar) dan dua adiknya Ki Warga Dipa dan adiknya meneruskan
jalan ketimur keluar di Desa Jambu, sesampai di perkampungan Jambu mereka
berdua merasa masih belum cukup aman maka mereka berdua melanjutkan
perjalananya ketimur menyeberangi sungai tajum, menelasak, menelusur hutan dan
kampung-kampung sampai kemudian berhenti di pinggiran kampung (sekarang
Kaliurip), disitulah mereka berdua Ki Warga Dipa dan Adiknya yang ragil
berpisah, adiknya menuju ke arah utara kemudian berhenti di perkampungan
Sudimara dan menetap disana, sementara Ki Warga Dipa keselatan menyusuri lembah
sampai kemudian berhenti di perkampungan kecil (cikal bakal desa Gerduren). Sejak
saat itulah mereka terpisah dengan kedua saudaranya dan masing-masing menetap
tinggal di perkampungan masing-masing sampai memiliki dan menurunkan keluarga
besar.
Baru setelah
jaman telah berubah, silaturahmi antar mereka disambung lagi, saling mencari
dan berkunjung. (pada dikade 1970 s/d 1980 keluarga besar Desa Lor masih
saling berkunjung ke empat Desa : Canduk, Gumelar dan Sudimara, baru setelah
kakek buyut mereka tidak ada silaturahmi terputus lagi sampai sekarang)
2. Kaki Kasut dan Nini Kasut;
Kaki Kasut adalah seorang pendatang dari wilayah Karanglewas dan sebelum
Gerduren dan Tinggarjaya terpisah menjadi dua teritori, Gerduren sebagian besar
masih berupa hutan, menjadi tempat penggembalaan kerbau, sapi dan ternak-ternak
yang lain, pada jaman dahulu para peternak melepaskan ternak-ternaknya di alam
bebas. (Kebiasaan ini berlangsung sampai kisaran tahun 1974, di musim
kemarau para penggembala di Gerduren hanya melepaskan sapi kerbaunya di
persawahan maupun di hutan dan pada sore harinya baru dicari, kebiasaan ini
orang menyebutnya dengan istilah ”asot” (melepas ternak)
Kaki dan Nini
Kasut adalah salah satu penduduk di kampung kecil yang disinggahi oleh Ki Warga
Dipa, diantara penduduk yang lain Kaki Kasut
tergolong orang kaya pada jamanya, dia memiliki beberapa ternak kerbau
dan ladang yang cukup luas, dalam mengelola pertanian dan ternaknya itu dibantu
oleh seorang yang berasal dari Pasir bernama Cadiwangsa (tidak diketahui
hubunganya dengan Kaki Kasut), dialah orang yang diberi kepercayaan oleh Ki
Kasut untuk menjaga kerbau-kerbau tersebut, beberapa kerbau diberi korakan
(genta dari bambu) pada lehernya untuk menandai keberadaan kerbau sehingga
mudah dicari, kalau pagi dia melepaskan kerbau di lembah hutan nduren dan
koloni kerbau yang dijaganya kalau malam diarahkan agar berkumpul di ”lentong”
(tanah datar berkubang lumpur dan air terletak dibawah dilingkari oleh hutan
nduren sekarang sudah jadi sawah)
Begitulah
pekerjaan Ki Cadiwangsa setiap hari, kalau siang setelah mengarahkan kerbaunya
dia membuka ladang untuk ditanami palawija di lembah hutan nduren, kalau senja
menjelang dan kerbaunya belum kembali dia mulai mencari kerbau-kerbaunya dengan
mendengarkan suara korakan itu sambil memainkan tiga buah kentongan kecil yang
dalam perkembanganya disebut ”tek-tek”. Untuk menandai bahwa hari sudah mulai
petang Ki Cadiwangsa disamping memainkan tek-teknya dia juga membakar sampah di
sekitar rumahnya, dengan alat musik tek-tek itulah keseharian Ki Cadiwangsa
mengendalikan kerbau-kerbau piaraanya, jika kerbau-kerbaunya sudah berkumpul
dia akan menghitungnya dan jika jumlah kerbaunya kurang baru dia akan mencari
kedalam hutan.
Untuk mengundang
kerbau itu Ki Cadiwangsa cukup dengan memainkan tek-teknya sambil
memanggil-manggil, kebiasaan itulah yang dilakukan sehingga jika mendengar suara tek-tek dan panggilan khas Ki
Cadiwangsa, maka kerbo-kerbonya secara naluriah akan memutar kembali menuju
arah lentong dan berkumpul disana.
Kalau malam
tiba, sebelum terlelap Ki Cadiwangsa akan berkeliling mengitari kerumunan
kerbau dan ladangnya sambil memainkan tek-tek untuk mengusir binatang pemangsa,
perusak tanaman seperti celeng/babi hutan dll, kemudian sebelum tidur, di dalam
gubug dia juga terus memainkan tek-teknya sambil mendendangkan lagu-lagu
caranganya. Dengan permainan musik tek-tek itulah dia seolah meninabobokan
kerbau-kerbau itu sampai kemudian dia sendiri juga tertidur.
Dalam
perkembangnya Kaki Cadiwangsa menikah dengan perempuan di kampung itu dan
beranak pinak menurunkan keluarga besar di lembah nduren, yang oleh penduduk
sebelum sungai tajum bergeser membelah orang-orang disebelah selatan
menyebutnya Nduren dengan ”Desa lor” (Desa Utara).
sebutan desa lor
sampai sejarah ini ditulis juga masih sering disebut terutama oleh orang-orang
tua.
Disebut Nduren karena
pada jamanya di ereng-ereng sekitar lentong itu secara tiba-tiba tidak
diketahui asal muasalnya ada pohon Durian yang buahnya sudah masak-masak.
(sampai kisaran tahun 1970 tonggaknya masih ada) yang aneh pohon ini tidak
berkembang dan hanya ada satu-satunya di lembah itu, maka lembah ini dikenal
dengan sebutan ”Nduren”.
3. Warga Dipa;
Warga Dipa tidak kembali ke Canduk juga tidak kembali ke Bagelen, tetapi
dia menetap bersama Kaki Cadiwangsa di desa Lor, dengan modal hasil rampokanya
itu dia memulai hidup baru di Desa Lor.
Sebagai seorang
anak Demang tentu saja dia memiliki tabiat yang berbeda dengan pemuda lain
seusianya, disamping memiliki ilmu kanuragan dia juga orang yang cerdas dan mau
bekerja keras sehingga banyak disukai orang dan teman-temanya dialah yang
kemudian membantu perkembangan ekonomi keluarga Ki Cadiwangsa yang kemudian
bisa mengungguli Ki Kasut yang dulu menjadi Majikanya.
Penampilanya
yang sopan, rendah hati dan pekerja keras tanpa pamrihnya Warga Dipa itu
membuat keluarga Ki Cadiwangsa yakin bahwa dia bukan orang yang jahat dan
keberadaan mereka diterima dengan baik oleh warga, diapun mengabdikan diri pada
keluarga dan masyarakat dengan baik dan bertanggungjawab. maka banyak perempuan
ingin menjadi istrinya tak terkecuali anak perempuanya Ki Cadiwangsa.
Anak perempuan
Ki Cadiwangsa ini pada waktu itu banyak diantara pemuda yang ingin melamarnya
baik dari Nduren sendiri maupun dari luar kampung, akan tetapi hatinya sudah
kadung tertambat pada Ki Warga Dipa dan Ki Cadiwangsa sendiri sebenarnya juga
sangat tertarik pada Warga Dipa untuk menjadi menantunya, karena Ki Warga Dipa
tidak ada keluarganya, maka Ki Cadiwangsa bingung mau menyampaikan hal itu pada
siapa (pada jamanya jodoh itu yang menentukan orang tua dengan orang tua mereka).
Setali tiga
uang, memang sudah jodohnya maka anak perempuan dalam usianya yang ke 16 tahun
dikawinkan dengan Ki Warga Dipa yang sudah berumur 24 tahun dan seorang duda
beranak dua yang ditinggalkanya di Canduk.
(Narsum: Kasum – Ki. Reja alm, Ki. Sanpura alm. Ki. Tk Uang dongkol alm dll)
BAB III
BERDIRINYA DESA
1.
Pergeseran Sungai Tajum;
Pada awalnya
sungai tajum mengalir membelah Karang Tengah dan Desa Lor (sekarang Kadus I dan
Kadus III) karena kontur tanah tepi sungainya yang curam maka abrasi air sungai
sangat kuat menggerus tebingnya, sampai kemudian setelah lima hari dari pasran
pengantin Ki Warga Dipa terjadilah bencana alam yang kemudian menyatukan Karang Tengah yang dulu berada
disebelah selatan sungai dengan Desa Lor yang sebelumnya berada di sebelah
utara sungai tajum,
peristiwa ini
ditandai juga dengan satu gunung yang dulu berada disebelah selatan sungai
tajum sekarang sudah berada di sebelah utara sungai tajum, gunung ini oleh
masyarakat dikenal dengan ”Garcengis” penamaan gunung ini berasal
dari kirata bahasa yang artinya ”sigar”
(terbelah) oleh air sungai dan ”mencingis” (menonjol kecil ke
permukaan tanah), gunung ini memang tidak besar yang tiba-tiba mencingis di
sebelah utara sungai tajum maka orang menyebutnya dengan ”Garcengis”.
Dari peristiw
ini diyakini kebenaranya juga bahwa pada bulan sura orang Gerduren tidak boleh
menyelenggarakan hajatan baik perkawinan maupun kegiatan prosesi
kerumahtanggaan yang lain.
( perkawinan,
pindah rumah, mendirikan rumah dll)
2.Lurah
I (Pertama);
Pada masanya kondisi masyarakat diliputi ketegangan dengan para tokoh
masyarakat yang diberi tugas menariki pajak, seringkali masyarakat yang mau
menjual hasil bumi ke wilayah selatan harus menerobos ke jalan-jalan lain untuk
menghindari penarik pajak di tambangan (tempat penyebrangan sungai), karena
masyarakat seringkali merasa diperlakukan tidak semestinya oleh para penarik
pajak itu, melihat situasi ini Ki Warga Dipa lalu tampil melakukan pembelaan
terhadap rakyat, dari situlah perselisihan para tokoh selatan dengan Ki Warga
Dipa mulai berkembang
Disamping
situasi ketegangan tersebut perkembangan penduduk juga turut mempengaruhi
proses pendirian desa itu. kebijakan Kademangan Jambu sebagai kepanjangan
tangan pemerintahan dibawahnya juga tentu terpengaruh.
Ki Warga Dipa setelah menikah dan menjadi keluarga yang mandiri, dengan
modal simpanan hasil perampokanya itu secara ekonomi sangat pesat
perkembanganya dibandingkan penduduk yang lainya di Desa Lor. Juga sebagai anak
seorang Demang dia tentu saja memiliki pengetahuan dan pengalaman berkaitan
dengan politik dari desa asalnya Bagelen, sehingga dia yang memang disegani
oleh penduduk Desa Lor dan sekitarnya karena kemampuan sepiritual dan
kanuraganya sering di manfaatkan oleh penduduk yang membutuhkan pertolongan.
Waktu terus
berjalan, kehidupan Ki Warga Dipa terus berubah dan dari perkawinanya dia
dikaruniani dua orang anak perempuan dan satu anak laki-laki.
Dinamika
masyarakat juga terus berkembang , sampai kemudian keberadaan dan kinerja Ki
warga Dipa diketahui oleh Ki Demang Jambu dan menimbulkan rasa curiga, sampai suatu saat dia dipanggil ke
kademangan, Ki Demang Jambu sering mendengar tentang keberadaan Ki Warga Dipa
dari anak saudaranya yang tinggal diseberang timur sungai tajum(sekarang
Grumbul Glempang/KadusII) Untuk menjaga eksistensinya dan menjinakan Ki warga
maka Ki Demang berpura-pura ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada Ki
Warga Dipa yang telah banyak berjasa dengan suka rela membantu mengamankan
masyrakatnya.
Berangkatlah Ki
Warga Dipa ke Kademangan Jambu dan
sesampai di Kademangan, Ki warga ditanya nama desanya tapi dia
menyebutkan bahwa dia dari Desa Lor, tentu saja Ki demang tidak mengenal desa
itu, kehawatiranpun semakin bertambah ketika mendengar logat bicaranya yang
tidak seperti orang jambu biasanya.
Ki Demang tidak
paham lalu Ki Warga menjelaskanya bahwa ”Desa Lor itu berada di igir Duren”.
Sebagai ucapan
terimakasihnya Ki Demang menawarkan kepada Ki Warga Dipa, dia dimintai
kesedianya untuk memimpin masyarakat di Desa Lor dan sekitarnya itu, dari
tawaran itulah selanjutnya Ki Warga Dipa tunduk dan menjadi orang kepercayaan
Ki Demang Jambu, segala sesuatu kegiatan yang berkaitan dengan pemerintahan di
Desa Lor waktu itu Ki Demang selalu memberikan kepercayaan dan berkordinasi
dengan Ki Warga Dipa.
Kebijakan ini
tentu saja memicu perselisihan para tokoh sebelumnya, para penarik pajak yang
sebelumnya leluasa melakukan pemerasan kepada rakyat, tapi dengan kebijakan ini
mereka merasa terganggu karena harus berhadapan dengan ketokohan ki Warga Dipa
yang bukan siapa-siapa menurut mereka.
Perselisihan ini
terus berkembang, mereka saling berebut pengaruh kepada rakyatnya.
3. Geger
Nduren Episode Pendirian Desa;
Kegelisahan Ki Demang Jambu dan
memang jauh sebelumnya ditengah masyarakat sudah berkembang cerita bahwa
di kemudian hari desa ini akan menjadi desa tersendiri yang dipimpin oleh orang
dari timur, cerita itu berasal dari para sesepuh yang menceriterakan seorang
pertapa di bukit duren yang kemudian menjadi keyakinan dan penantian semua
warga. Oleh Ki Warga Dipa momen itu betul-betul
digunakan sebagai momen politik yang kemudian mengusulkan kepada Ki
Demang Jambu agar Desa Lor menjadi Desa tersendiri, meskipun usulan itu diterima
tetapi usulan dan permintaan ini tidak langsung dikabulkan oleh Ki demang
sampai beberapa tahun kemudian.
Pada saat itu
dinamika politik kekuasaan terus berkembang, perubahan wilayah, perebutan
kekuasaan dan berbagai perselisihan antar penguasa terjadi di Kadipaten dan
antar Kadipaten, sementara di Desa Lor sedang berkembang isu pendirian desa
sendiri yang sengaja di kobarkan oleh Ki warga Dipa kepada masyarakat di
sekitar Desa Lor.
Akumulasi dari
isu ini kemudian mengerucut pada satu waktu dimana oleh Ki Warga Dipa semua
kesepuhan di Desa Lor dan sekitarnya dikumpulkan di rumahnya untuk membahas
rencana pendirian desa itu, dalam pertemuan itu semua kesepuhan yang hadir dari
Karang Tengah dan dari (sekarang Glempang/Kadus II-IV) setuju untuk bergabung
menjadi satu desa dengan Ki Warga Dipa.
Ternyata
pertemuan ini dilakukan secara diam-diam yang kemudian mengakibatkan dualisme
di wilayah masing-masing, Karang Tengah yang klaim wilayahnya ikut wilayah
Jatilawang namun penduduknya tunduk pada kebijakan Ki Warga Dipa, begitu juga
Grumbul Glempang kalim wilayahnya ikut desa seberang barat, Igir Duren diklaim
sebagai pegunungan milik Desa sebelah utaranya tapi semua warganya tunduk pada
Ki Warga Dipa. ( perebutan ini berjalan terus dari tahun ketahun dan baru
selesai secara tuntas pada dekade 1970).
Berawal dari
peristiwa itulah kemudian orang-orang
disebelah selatan menyebut grumbul ”Nduren” Dengan ”Desa Lor”,
meskipun penyebutan Desa Lor hanya
sebagai ungkapan ejekan dari kelompok dan orang-orang di selatan yang
tidak sepaham yang di tebar oleh orang-orang kepercayaan Ki Demang sebelumnya
yang bertugas menarik pajak rakyat, yang sangat menentang dengan rencana
pendirian Desa sendiri, akan tetapi sebutan Desa Lor justru semakin populer
ditengah masyarakat.
Semua yang hadir
dalam pertemuan itu sepakat untuk mendirikan desa sendiri, akan tetapi
pertemuan terhenti ketika sampai pada penamaan desa. Nama Desa Lor dirasa tidak
tepat oleh semua yang hadir karena nama itu nama ejekan, sampai kemudian
pertemuan selesai dan penamaan Desa diserahkan kepada Ki Warga Dipa.
Perkembangan
selanjutnya Ki Demang Jambu menetapkan Desa Lor/Nduren menjadi desa sendiri
dengan nama desa sesuai usulan Ki Warga Dipa yaitu ”Gerduren”
Penamaan Desa dengan sebutan Gerduren
oleh Ki Warga Dipa adalah berasal dari penolakan warga yang disebut dengan
sebutan desa lor, oleh Ki Warga Dipa di Ganti dengan ”Gerduren” berasal
dari ”Gegernya grumbul Nduren” yang menginginkan
menjadi Desa sendiri dan acapkali terjadi perselisihan dengan orang-orang
diselatan yang tidak sepaham dan ingin tetap menguasai,
sentimen itu
sangat kental ditambah dengan ketokohan Ki Warga Dipa yang bukan putra asli
desa maka menimbulkan rasa iri para tokoh lain di selatan.
Namun demikian
ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa Ki Warga Dipa menemukan nama desa Gerduren itu dari Ki
Cadiwangsa ayah mertuanya yang mengisahkan tentang perjalanan prajurit Pasir
luhur yang tersesat di Hutan Nduren. Dengan beberapa perbedaan pendapat
tersebut kemudian hasil musayawarah desa dengan berbagai pertimbangan dan fakta
yang paling mendekati di putuskan bahwa Desa Gerduren didirikan bersamaan dengan penetapan Ki Warga Dipa Sebagai Lurah I
(bekel) yang harinya Sabtu Kliwon, Tanggal 27 aji 1746 saka/ 27 Zulhijah 1215
Hj/ 13 Agustus 1821. yang dirunut dari usia dan masa kerja Lurah-Lurah
sampai lurah sekarang (1999-2013)
Ki Warga Dipa
ditetapkan menjadi Lurah oleh Ki Demang Jambu dan dia memimpin desa ini selama
18 tahun meninggal pada usia 76 Tahun.
Dengan meninggalnya Ki Warga Dipa Kepemimpinan Desa diberikan kepada anak menantunya Ki Warga Leksana yang mengawini anak perempuan pertamanya pada tahun 1839 s/d 1866.
4. Geger Nduren Episode Rekomba;
Jika pada jaman Lurah pertama ada Geger Nduren yang
merupakan peristiwa politik penting untuk mendirikan desa sendiri, maka pada
tahun 1942 itu merupakan peristiwa penting kedua yang telah mengobarkan
perselisihan dan semangat juang masyarakat Gerduren.
Dipengaruhi oleh perkembangan politik pemerintahan Hindia Belanda dimana
kebijakan Pemerintah Belanda tiba-tiba secara sepihak merubah struktur
pemerintahan desa Gerduren dengan mengangkat Lurah sendiri dan membentuk
pasukan yang dikenal dengan sebutan tentara Knil pergolakan masyarakat semakin
menguat, dari situ timbulah dua kelompok masyarakat pro dan kontra terhadap
semua kebijakan Belanda tersebut.
Dengan pengangangkatan Lurah baru tersebut tentu saja terjadi dualisme
kepemimpinan desa yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Lurah
Repiblik dan Lurah Rekomba.
Lurah Repiblik saat itu Ki Marta Dikrama yang dipilih oleh masyarakat
ternyata tidak menerima atas penggantian dirinya secara paksa dan sepihak itu,
dia bersama rakyat dan tentara mencoba
melakukan perlawanan terhadap kebijakan Belanda tersebut dan oleh ”Tentara
Kita” (sebutan TNI) Ki Marta Dikrama di asingkan ke Banjarnegara.
Perselisihan dan saling curiga terus terjadi dimasyarakat dengan kebijakan
Pemerintah Belanda tersebut dan kisruh ini terjadi ditahun 1942 s/d 1949,
banyak masyarkat yang harus menjadi pekerja rodi diluar daerah, ada yang
dikirim ke Merak untuk bekerja membangun Pelabuhan Merak Bakahuni bahkan ada
yang dikrim ke Deli untuk pekerja perkebunan. sampai kemudian lurah bentukan
Belanda Ki Kartameja digantikan oleh Ki Kartanom juga atas penunjukan oleh
Pemerintahan Belanda Tahun 1948 yang kemudian pada tahun 1949 di tangkap oleh
tentara kita, dibawa ketepi sungai tajum dan disuruh pergi dari Desa Gerduren
dengan seolah-olah di tembaki padahal yang ditembak adalah hanya ikat kepalanya
saja hanya untuk mengelabui tentara dan antek-antek Belanda saat itu,
pergolakan makin hari makin menguat. (sementara dia Ki Kartanom berenang
keseberang barat sungai bersembunyi di perakaran pinggir sungai tajum, baru
setelah situasinya aman dia pergi menuju Wangon dia mengasingkan dirinya disana
sampai keadaan sudah benar benar aman baru dia kembali lagi ke Gerduren dan
meninggal di Gerduren karena sakit tua).
Jaman itu adalah jaman peralihan kekuasaan dari Belanda
kepada tentara Jepang, namun ketika jaman peralihan dari kekuasaan Belanda kepada
tentara Jepang belum sempat tertata, baru berkisar pada pembentukan pasukan
rakyat yang dikenal dengan istilah tentara Romusha kegiatanya baru pelatihan
kemiliteran dan persiapan, tiba-tiba tentara Jepang dipaksa agar meninggalkan
tanah Jawa, peristiwa ini tentu saja berpengaruh juga di Gerduren, para pemuda
yang telah bergabung dengan Rhomusa ada yang kembali menjadi Knil dan ada yang
begabubung menjadi gerilyawan dengan tentara kita (TNI).
Sementara semangat kejuangan rakyat juga terus berkobar seiring proklamasi
tahun 1945 di Jakarta, banyak para pemuda yang memutuskan untuk bergabung
dengan tentara kita ikut bergerilya mengusir bule (sekutu) yang ditandai juga
pada tahun 1949 di Gerduren ada tiga orang menjadi korban karena lemparan kanon
yang dilemparkan dari pertempuran antara pasukan Pujadi Jaring Banda Yudha
melawan Belanda di fron lemah abang Tinggarjaya yang jatuh di rumahnya.
Semangat juang rakyat semakin kuat ketika pada saat itu Gerduren menjadi
tempat persembunyian dan perlintasan para gerilyawan dalam upaya mengusir
tentara Belanda yang berbasis di Jatilawang.
Peristiwa pertempuran tentara kita dengan tentara bule yang terjadi
diwilayah Jatilawang acap kali meninggalkan duka dan ketakutan rakyat luar
biasa karen pengejaran gerilya oleh pasukan
sekutu masuk ke kantong-kantong penduduk di Gerduren, jumlah korban penembakan
penduduk tidak diketahui jumlah pastinya, akan tetapi peristiwa-peritiwa
pengejaran itu selalu membawa korban masyarakat sipil dan perempuan,
penggeledahan rumah-rumah penduduk gencar dilakukan oleh kenil dan tentara
sekutu, para pemuda dan siapa saja diminta menunjukan telapak tanganya dan
barang siapa yang telapak tanganya tidak menunjukan sebagai seorang petani maka
otomatis dianggap sebagai tentara, maka dia akan ditembak atau dibawa entah
kemana untuk di intimidasi dan intrograsi, pada satu ketika ada beberapa orang
yang mau ditembak oleh tentara bule tetapi urung karena diantara orang-orang
tersebut ada seorang mantan Lurah (Ki Merta Sentika) yang mengenakan medali penghargaan
dari Pemerintah Kolonial Belanda di kalungkan di lehernya.
Peristiwa itu adalah fase ahir di bumi Gerduren dalam menjujung kemerdekaan
yang telah diproklamirkan pada tahun 1945.
Setelah situasi damai dan aman (tahun1949), kemudian Ki Marta Dikrama sebagai
Lurah Repiblik yang resmi, kembali ke Gerduren dari pengasinganya di
Banjarnegara dan dia kembali memimpin Desa Gerduren sampai tahun 1965 dia
meninggal dalam usia tahun karena sakit tua.
5. Geger Nduren Episode 65;
Sepeninggalan bangsa asing dari bumi Indonesia telah
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat Indonesia untuk berdaulat,
oleh para tokoh nasional kesempatan itu tidak disia-siakan, penataan
pemerintahan Indonesia Merdeka terus dilakukan disemua bidang, pesta kebebasan
telah mengantarkan rakyat Indonesai pada kebebasan politik yang mandiri,
puluhan simbol partai politik berkibar di bumi Indonesia, lagu idiologis terus
berkumandang di bumi pertiwi, sebagai bangsa yang merdeka bebas juga untuk
menentukan haluan negaranya, oleh karenanya menjamurlah partai-partai politik,
mereka saling berebut kekuasaan, masyarakat Gerduren yang kental dengan ritual
kejawen merasa tidak terikat oleh idiologi partai manapun, sehingga pada masa
itu hanya ada dua partai nasionalis yang hidup subur dan menjadi alat
perjuangan masyarakat Gerduren untuk ikut menentukan pembangunan Indonesia ke
masa Depan yang lebih baik.
Sebagai Desa, Gerduren adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia
sehingga dinamika negara juga tercermin juga di Gerduren, semua slogan-slogan
partai politik adalah kejayaan dan kesejahteraan rakyat, akan tetapi slogan
tersebut tidak berbuah pada kesejahteraan yang di impikan justru melahirkan
tercerai berainya masyarakat Gerduren, bagi yang kalah dan dianggap salah telah
menimbulkan penyesalan, kesengsaraan dan penindasan baru, rakyat yang dulu
telah bersatu bersemangat untuk merdeka harus kembali bertikai dan berselisih,
satu pihak yang mengklaim mewakili kebenaran terus melakukan intimidasi, teror
dan perlakuan-perlakuan yang mengakibatkan trauma dan ketakutan luar biasa bagi
satu pihak lain sebagai pesakitan yang dianggap mewakili kesalahan, jika saja
terucap kedalam lisan maka banyak diantara masyarakat Gerduren yang sangat
menyesal kenapa waktu itu ada partai dan kenapa harus masuk ke partai.
Terlepas dari siapa yang berkepentingan sebagian besar masyarakat tidak
tahu, yang mereka tahu adalah mereka sebagai petani dan orang kejawen maka dia
bergabung dengan partai yang menurut mereka sesuai, akan tetapi ketika
partainya dinyatakan bersalah dan di tuduh melakukan penghianatan, maka siapa
saja di Gerduren yang berafiliasi terhadap partai tersebut saat itu tentu saja
akan menjadi sampah yang seolah harus di kubur dalam-dalam sampai kepada anak
cucunya.
Meletuslah perebutan kekuasaan tahun 1965 di Jakarta yang kemudian
mengakibatkan banyak penderitaan rakyat tak terkecuali juga di Gerduren, di
Gerduren banyak sekali masyarakat yang harus di tawan bahkan sampai ke pulau
buru, perselisihan antar warga, intimidasi, teror terus mewarnai kehidupan
bermasyarakat selanjutnya, situasi ini menjadi episode ke tiga setelah
sebelumnya ada geger Nduren untuk pendirian desa dan episode ke dua pada masa
rekomba, bagi orang-orang yang berafiliasi pada Partai terlarang di Gerduren saat itu sangat menantikan
pergantian kekuasaan dari rezim lama ke rezim yang baru untuk bisa
menyelamatkan rakyat Gerduren dari pertikaian itu, akan tetapi bagi mereka
justru sebaliknya, ketika pergantian dari orde sebelumnya ke orde yang baru
adalah awal dari penderitaan, hampir selama kekuasaan rezim itu orang-orang
yang dulu berafiliasi pada partai terlarang bahkan sampai anak cucunya oleh
orang yang berafiliasi pada kepentingan yang lain mereka menjadi bulan-bulanan,
ancaman pembunuhan, perampasan hasil panen, perampasan hak, kawin paksa dan
banyak hal-hal lain yang bersifat mengintimidasi terus dilakukan dan situasi
itu dimanfaatkan juga oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk
mencari keuntungan pribadi.
Geger Nduren episode tiga ini nuansanya hampir seperti mengulang
perselisihan anatara orang-orang selatan dan Desa Lor pada masa pendirian desa.
Seiring meletusnya peristiwa 65 itu di Gerduren juga
diwarnai dengan pergantian lurah dari Ki Marta Dikrama (lurah ke VIII) yang
sudah sampai pada usia purna digantikan oleh lurah berikutnya.
Pergantian lurah tersebut tidak terjadi langsung akan tetapi selang dua
tahun baru dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat, sebelum ada lurah yang baru kepemimpinan desa
waktu itu dipimpin oleh Ki Samsudin sebagai seorang yang ditunjuk untuk
menjalankan tugas lurah yang oleh masyarakat dikenal dengan istilah lurah
kartiker (tahun 1965 s/d 1967).
Setelah dua tahun kepemimpinan desa di pegang oleh seorang kartiker
kemudian dilakukan pemilihan lurah secara langsung oleh masyarakat, tiga orang
kandidat saat itu melakukan kampanye bukan dengan program akan tetapi
membagikan makanan yang dikenal dengan istilah ”tong tum”.
Peristiwa pemilihan lurah saat itu betul-betul merupakan praktek demokrasi
yang terbuka, dimana pada saat pemilihan para pemilih akan berbaris sesuai
dengan pilihanya masing-masing secara terbuka, mereka tidak mencoblos simbol
kandidat akan tetapi setiap orang memasukan ”biting” (lidi yang
dipotong-potong) kedalam ”bumbung” (seruas bambu), setelah kentong ditabuh lalu
satu orang maju untuk memasukan biting tersebut kedalam bumbung dan setelah
memasukan biting kemudian dikasih ”sega se tum” ( satu bingkis nasi ), ketika
semua warga sudah memasukan biting kedalam bumbung lalu masing-masing bumbung
itu dihitung isinya, bagi yang isi bumbungnya paling banyak maka dialah yang
menjadi lurah.
Dengan berahirnya prosesi pemilihan tersebut, terpilihlah lurah yang ke X
(Ki. Wakum Soemardjo) yang ternyata juga bukan putra asli Desa dan berdomisili
di grumbul Nduren (sekarang Kadus I), dia memimpin desa Gerduren selama 25
tahun dan berahir tahun 1991.
Pemilihan lurah berikutnya tidak lagi menggunakan piranti tradisionil,
pemilih tidak lagi memasukan biting kedalam bumbung, tapi sudah mencoblos
gambar simbol kandidat dan dengan berahirya masa bhakti Ki W. Soemardjo lurah
berikutnya adalah Ki Suhartoyo (lurah ke XI) yang menjabat selama 8 tahun
sesuai ketentuan pemerintah yang berlaku, pada tahun 1999 masa bhakti Ki
Suharstoyo telah habis dan digantikan oleh Ki Yasro sebagai Lurah yang Ke XII dia
menjabat 8 tahun (1999 – 2007) pertama dan terpilih kembali periode selanjutnya
samapai tahun 2013.
6. Kebijakan Kewilayahan;
Latar belakang pemindahan Kademangan dari Jambu ke
Jatilawang tidak diketahui, akan tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa
pemindahan itu dilakukan atas kebijakan pemerintah kolonial Belanda dan
peristiwa ini juga turut mempengaruhi perubahan kewilayahan di Gerduren.
Pendapat yang berkembang di Gerduren bahwa pemindahan Kademangan itu atas
pertimbangan strategis dari pemerintahan Kolonial untuk mempermudah distribusi
hasil bumi dan kayu hutan dari hutan yang disewanya di sekitar Purwojati dan
Jatilawang sekaligus untuk mempermudah mengontrol pergerakan rakyat dll.
Dari jaman Pajajaran, Gerduren ikut kedalam wilayah Pasir Luhur dan ketika
mulai berdiri Desa Gerduren ikut wewengkon Kademangan Jambu. Pada perkembangan
selanjutnya (tidak diketahui kepastian waktunya) Kademangan Jambu pindah ke
Jatilawang yang sekarang berkembang menjadi dua kecamatan sendiri Wangon dan
Jatilawang.
Sejak berdirinya Gerduren terdaftar di register Wangon sampai beberapa
dekade (tidak diketahui waktunya), barang kali letak geografis yang menjadi
pertimbangan kemudian oleh pemerintah Gerduren di ikutkan ke Kecamatan Jatilawang.
Dengan perkembangan penduduk diwilayah utara lalu oleh pemerintah
dikembangkan kecamatan baru yang di pusatkan di Klapasawit dan Gerduren masuk
ke register Klapasawit akan tetapi sebagai kecamatan yang baru merasa kerepotan
untuk mengkoordinasikannya karena letaknya yang jauh dan terhalang oleh gunung,
oleh sebab itu kemudian Gerduren diserahkan kembali ke Kecamatan Jatilawang dan
entah dilatar belakangi apa lagi sehingga Gerduren diserahkan kembali untuk
ikut di register Klapasawit sampai kemudian pusat pemerintahan kecamatan berada
di Purwojati Desa Gerduren masuk ke wilayah Kecamatan Purwojati sampai sekarang
(2011)
7. Jaman Orde Baru
Jaman Orde Baru adalah jaman dimana semua ditentukan oleh
pemerintah, rakyat tinggal mengikuti semua kebijakan yang ada dan jika ada
pendapat apapun yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah maka resikonya
sangat berat, maka rakyat Gerduren pun hanyut mengikuti kemana arus kebijakan
itu mengalir.
Beberapa kebijakan pembangunan perlahan-lahan mulai dapat dirasakan oleh
masyarakat yang kemudian sedikit demi sedikit mendorong perubahan di berbagai
bidang.
Kalimat modernisai desa menjadi kiblat bagi perubahan desa, satu demi satu
pranata adat mulai berguguran karena dianggap ketinggalan jaman.
8. Kekuasaan & Mitos Pergantian
Lurah;
Sepeninggalan Lurah Pertama (1866), kepemimpinan Desa di
wariskan kepada anak menantunya (Warga Leksana) untuk meneruskan menjadi lurah.
Menantu Ki warga Dipa yang ternyata bukan anak asli Desa Gerduren, dari
informasi yang didapat adalah anak
seorang Demang berasal dari Gumelem (Kec. Susukan, Banjarnegara) memang oleh
ayah mertuanya sudah disiapkan untuk menggantikan dirinya sehingga dibuatlah
satu mitos yang kemudian menjadi kepercayaan masyarakat bahwa untuk menjadi
Lurah di Gerduren harus berasal dari keluarga yang berbeda (suami atau istrinya
harus berasal dari lain desa Gerduren).
Mitos ini terus dikembangkan oleh para pendukung setia dan keluarga besar
Ki Warga Dipa sebagai upaya untuk terus mempertahankan kekuasaan di Desa,
karena anak lelakinya juga telah mengawini perempuan bukan asli desa (tidak
diketahui dari mana, ada yang berpendapat berasal dari Jambu anak keturunan Ki
Demang Jambu dan setelah dikawini oleh anak lelaki Ki Warga Dipa dibuatkan
rumah di grumbul Glempang sekarang Kadus II).
Sebagai orang tua tentunya Ki Warga Dipa ingin agar anak-anaknya menjadi
orang terhormat, maka anak lelakinya dibuatkan rumah di grumbul Glempang adalah
sebagai persiapan menjadi Lurah di sana karena dalam rencananya Gerduren akan
dipecah menjadi dua desa (Gerduren dan Glempang), akan tetapi impian itu tidak
terujud sehingga anaknya melakukan protes pada ayahnya agar lurah itu harus
bergantian : setelah lurah berada di Gerduren besok gantian harus di Glempang
begitu sebaliknya, protes ini kemudian didukung oleh warga glempang sehingga
setelah kakak iparnya selesai menjadi lurah kepemimpinan desa langsung di
kuasainya dan dia menjadi Lurah ke III Desa Gerduren sejak Tahun 1866 s/d 1897,
sejak saat itulah kepercayaan masyarakat terus tumbuh subur bahwa siapapun yang
akan menjadi lurah di Gerduren harus memenuhi dua unsur tersebut : Keluarganya
harus salah satu bukan anak asli desa dan setelah lurah berada di Gerduren
diyakini pasti lurah berikutnya berada di Glempang. Kepercayaan ini terus
berkembang dan lurah berikutnyapun (lurah ke III Ki Merta Sentika Tahun 1897
s/d 1931) masih berasal dari garis
keturunan Ki Warga Dipa dan berdomisili di Gerduren (kadusI).
Lurah ke IV kembali lagi berada di Glempang (Ki Marta Dikrama Tahun 1931 s/d 1942), semua Lurah berasal dari satu garis Keturunan Ki Warga Dipa dan baru terjadi pergeseran dan perubahan Lurah bukan berasal dari Garis Keturunan terjadi tahun 1942 s/d 1947, karena pemerintahan Belanda dan kepentingan politiknya tidak menghendaki lurah yang ada maka membuat lurah baru.
DAFTAR LURAH/KEPALA DESA GERDUREN
LURAH
KE |
NAMA |
TAHUN |
I |
KI. WARGA
DIPA |
1821 S/D
1839 |
II |
KI. WARGA
LEKSANA |
1839 S/D
1866 |
III |
KI. WARGA
UTAMA |
1866 S/D
1897 |
IV |
KI. MARTA
SENTIKA |
1897 S/D
1931 |
V |
KI. MARTA
DIKRAMA |
1931 S/D
1942 |
VI |
KI.
KARTAMEJA |
1942 S/D
1947 |
VII |
KI.
KARTANOM |
1947 S/D
1949 |
VIII |
KI. MARTA
DIKRAMA |
1949 S/D
1965 |
IX |
KI.
SAMSUDIN |
1965 S/D
1967 |
X |
KI. W.
SUMARDJO |
1967 S/D
1991 |
XI |
KI.
SUHARTOYO |
1991 S/D
1999 |
XII |
KI. YASRO |
1999 S/D
2013
|
BAB IV.
PERKEMBANGAN DAN
SISTEM KESENIAN DI GERDUREN
1. Lengger dan Calung Banyumasan;
1.1.
Lengger Gerduren;
Pertunjukan lengger pada prosesi perkawinan Ki Warga Dipa adalah titik awal
berkembangnya lengger di Desa Gerduren.
Sampai sekarang
istilah lengger ini menjadi perdebatan diantara para seniman.
Berbagai
pendapat tentang istilah lengger telah banyak
beredar dimasyarakat seni terutama, istilah lengger ada yang menyebutkan berasal dari kata sapaan
kepada anak kecil ”le” dan ”Ngger” ada yang berpendapat berasal dari ”leng”
”Jengger” pendapat kedua ini mengandung dua konotasi istilah, ada yang
mengartikan ”disangka ’leng’ (lubang) ternyata ’jengger’ (paruh ayam jantan) ”
disangka perempuan ternyata laki-laki.
Istilah ini
beredar karena pada perkembangan selanjutnya kesenian ini banyak dari kaum pria
yang memiliki indang (ruh gayuhan) yang menempel pada jiwa laki-laki sehingga
laki-laki tersebut memiliki tabiat perempuan (wandu istilah jawa/ homo seksual)
turut menjadi penari lengger, biasanya laki-laki yang memiliki indang
lengger/perempuan kalau indangnya masuk kedalam jiwanya pasti akan meminta
selendang, kemudian berperilaku layaknya perempuan dari menyisir, rambut,
berkaca sampai nyirih dan pasti akan bejoged layaknya seorang perempuan. (di
gerduren dulu banyak, sekarang masih ada
beberapa tokoh yang memiliki indang tersebut).
Istilah ”Leng
jengger” juga ada yang mengartikan bahwa seniman lengger adalah pelaku sek
komersial yang meladeni para remaja akil balegh, konotasi istilah itu
menggambarkan bahwa seniman lengger adalah memiliki fungsi melatih remaja dalam
melakukan perkawinan, makna ini diambil dari ”Leng” yang berarti lubang vagina,
”jengger” adalah ayam jantan yang masih muda untuk menggambarkan remaja
laki-laki.
Pemaknaan
tersebut bukan tak beralasan, akan tetapi kecenderungan kehidupan seniman yang
menyukai kebebasan sangat mempengaruhi perilaku seniman lengger pada masanya,
bahkan ada pendapat yang lebih ekstrim dari istilah lengger itu, bahwa lengger
itu bersal dari istilah ”lenge Ngongger” (lubangnya lebar), istilah ini
berkembang sebagai penggambaran bahwa lengger itu identik dengan
prostitusi/pekerja seks.
Dari hasil
penelusuran dan diskusi yang dilakukan oleh Pokmas Sekar Wigati, semua konotasi
dan pemaknaan istilah lengger yang berkembang di Gerduren ternyata bukan
bermuara di selangkangan, akan tetapi istilah lengger ini menggambarkan
perkembangan kesenian dari dua bentuk
kesenian ”Ledek” sebutan tarian sejenis tayub yang berasal dari wilayah timur
dan ”Doger” atau ”ketuk tilu” kesenian sejenis yang berkembang di Jawa Barat,
perpaduan dua istilah kesenian itulah sehingga muncul dan berkembang menjadi
istilah ”lengger” yang ada sekarang.
1.2.
Banceran dan Calung Babon;
Hampir satu tahun (waktunya tidak pasti) sebelum waktu pernikahan Ki Warga
Dipa itu di Desa Lor/nduren telah dikenal oleh banyak orang bahwa di Nduren sering ada seorang yang asing tiba-tiba mondok
dirumah seseorang penduduk. Pada menjelang pernikahan Ki Warga Dipa juga ada
seorang perempuan cantik kulitnya putih yang tidak diketahui asalnya dari mana,
tiba- tiba muncul (menurut cerita orangnya menggunakan bahasa jawa logat Jawa
Barat) pertama kali keberadaan perempuan itu diketahui membuat geger warga
kampung, perempuan itu mondok di rumah seorang janda tua (nenek buyutnya
keluarga lengger sekarang ini), rumah tua di lereng gunung dibawah pohon di
atas rumahnya terdapat sumur, (yang dikenal dengan sumur gua dan pada
perkembangnya sumur ini menjadi tempat memandikan dalam upacara penobatan
lengger), perempuan ini menjadi perhatian banyak orang karena kecantikanya,
namanya tidak dikenal tapi orang memanggilnya dengan panggilan Nyi Kuning,
sudah lama pada setiap malam selasa dan jumat keliwon perempuan ini selalu
kesurupan dan diwaktu kesurupan dia selalu berjoged berjam-jam sambil
menyanyikan lagu yang dikenal sekarang dengan lagu ”Sekar Gadung” (Bunga
gadung) sehingga pada setiap malam selasa dan jumat keliwon menjadi tontonan
masyarakat di depan rumahnya. Keberadaan perempuan ini membuat para lelaki
tergila-gila sehingga banyak sekali lelaki yang bersedia berkorban untuk
membantunya.
Pada suatu malam
dimana perempuan ini sedang kesurupan, lalu oleh kesepuhan desa di tanya
berbagai hal sampai kemudian mengaku bahwa dia bernama ”Kastinem” asalnya dari
Garut Jawa Barat dan dia mengaku juga ditugasi
untuk mengajarkan ”doger” di alas keling (wilayah Jeruklegi- Cilacap)
dan desa ini, pada malam itu dia minta dinyalakan obor ditengah pelatarnya, dia
juga minta di iringi dengan panja kenclung sejumlah 15 buah, malam itu juga
diambilkan panja kenclung oleh para pemuda dari rumah kaki kasut dan penduduk
yang lain, diapun berjoged semalaman di iringi panja kenclung oleh para pemuda.
Begitulah kejadian ini pada setiap malam jumat dan selasa keliwon menjadi pusat
hiburan dan keramaian bagi para penduduk kampung dan sekitarnya saat itu.
Keberadaan Nyi
Kuning yang tidak wajar ini memiliki daya tarik yang luar biasa memang,
sehingga bukan saja para pemuda desa Gerduren yang tertarik, akan tetapi banyak
juga dari kalangan elit di sekitar Jambu, Jatilawang bahkan sampai ke Patikraja
Sampang, Adipala dan sekitarnya bahkan ada pendapat sampai di wilayah Banjar
Patoman, keberadaan Nyi Kuning sangat dikenal pada masanya.
Di hari-hari
biasa Nyi Kuning setiap malam mengajari para perempuan untuk menari dan diwaktu
kesurupan dia juga pasti mengajak para
remaja putri kampung untuk ikut menari bersamanya. Malam selasa keliwon sebelum
pernikahan Ki Warga Dipa didalam kesurupanya yang biasanya diam membisu, saat
itu sebelum berjoged dia membentak-bentak para remaja putri yang diajak menari
seperti seorang pelatih kepada anak muridnya sehingga semua pada ketakutan,
kemudian oleh Ibu angkatnya (janda tua yang merawatnya) di seka mukanya dengan
tumpal tapih (ujung kain) lalu di bisik telinganya tentang apa yang dimintanya,
kata nenek tua itu dia meminta agar latihanya yang serius karena pada malam
kamis depan akan ditanggap di rumah kaki lurah.
Malam itu
pertunjukan jadi menegangkan, Nyi Kuning yang biasa mengumbar senyum, tapi
malam itu dia memasang wajah seram, kalau ada penari lain berhenti dia melotot
matanya dan para pemuda yang mengiringipun sudah kelelahan tapi tidak berani
menghentikan tabuhanya dan dia terus menari
berputar-putar sampai kemudian jatuh telentang ditengah pelataran,
dengan jatuhnya Nyi Kuning terhentilah pertunjukan malam itu dan oleh pemuda
dipanggilkan Ki Warga Dipa yang dikenal
dan dianggap mampu mengendalikan kekuatan gaib, akan tetapi melihat kedatangan
Ki Warga Dipa Nyi Kuning ketakutan luar biasa dan lari sambil teriak-teriak ”
ampun Ki Lurah!, ampun Ki Lurah!” memeluk Ibu angkatnya, lalu oleh ibu
angkatnya suruh dipanggilkan Kaki Buruh
kesepuhan di kampung itu.
Begitu Ki Buruh
datang Nyi Kuning langsung menyembahnya dan terjadilah dialog antara Ki Buruh
dengan Nyi Kuning, di dalam dialog itu antara lain Nyi Kuning menyampaikan
bahwa:
Pada waktu perkawinan Ki Lurah dia bersama para remaja
minta tampil berjoged;
Meminta jarit kawung (kain Kawung),iket wulung dan
selendang hijau gadung sebagai sesaji;
Meminta diringi bambu kenclung;
Kalau tidak kata
Nyi Kuning akan terjadi bencana;
Kejadian ini
menjadi pembicaraan warga dan was-was juga bingung yang dimaksud dengan ki
lurah itu siapa karena di kampung itu belum ada lurah, tetapi mendengar
teriakan ketakutanya Nyi Kuning yang memanggil Ki warga Dipa dengan sebutan ”Ki
lurah” maka pada acara pernikahanya Warga Dipa dengan anak perempuanya Ki
Cadiwangsa permintaan itu disediakan oleh Ki Cadiwangsa. Berita ini menyebar
kemana-mana maka pada acara perkawinan Ki Warga Dipa dihadiri oleh banyak orang
dari luar kampung, bahkan para peyayi,ndoro Demang Jambu datang malam itu untuk
menyaksikan pertunjukan Nyi Kuning, ramai dan meriah.
Hari itu Kamis
kliwon dibulan sura (1813 masehi) prosesi perkawinan Ki Warga Dipa dengan anak
perempuanya Ki Cadiwangsa berlangsung sangat meriah dan Nyi Kuning dengan
remaja putri Ndurenpun berjoged dengan diiringi bambu kenclung yang sudah di
rangkai, pertunjukan yang tadinya berkesan menakutkan, tapi ketika Nyi Kuning
menari sambil terus melemparkan senyumanya kepada seluruh penonton maka malam
itupun menjadi sangat meriah, mengenakan jarit kawung dan selendang hijau
gadung sesaji, Nyi Kuning tampak seperti pidadari yang turun dari kayangan,
tentu saja kecantikan Nyi kuning sangat menyedot minat penonton sehingga para pemuda, mereka
tak dapat menahan diri berbaur terhipnotis ikut turun berjoged bersama bahkan
para pemuda luar kampung juga tidak segan-segan bersaing merebut perhatian Nyi
Kuning dengan mengeluarkan isi koceknya
yang dalam perkembanganya dikenal dengan istilah ”mbancer”
(Nyawer), mereka saling berebut berjoged bersama Nyi Kuning dan pemudi lain
yang tampak menonjol.
Namun apa yang
terjadi, tidak disangka ternyata pertujukan itu adalah pertunjukan terahir dari
Nyi Kuning, banyak sekali orang merasa kehilangan ketika satu hal yang aneh
terjadi di suatu pagi.
Pagi hari
setelah pertunjukan lengger pada upacara pernikahan itu, Nyi Kuning berpamitan
pada ibu angkatnya bahwa dia mau menari
di Nusawungu Cilacap, Ibu angkatnya dengan penuh tanda tanya dan punya firasat
kalau anak ini mau pergi maka tidak di ijinkan sebenarnya, tapi ketika
ditinggal oleh ibu angkatnya mengambil air di sumur gua pulang-pulang dia sudah
tidak ada di rumah, ahirnya dicarilah kerumah tetangga, akan tetapi dia dapat
laporan dari seseorang kalu Nyi Kuning pergi membawa selendang dan jarit
kawungnya ke arah utara, Nenek Janda tua inipun bingung dalam hatinya dia
bertanya-tanya ”kalau mau ke Nusawungu mestinya ke selatan kok keutara?” dan
ahirnya nenek itu kembali kerumahnya dan dibiarkan Nyi Kuning pergi entah
kemana dan sejak saat itulah dia tak pernah kembali lagi, menghilang (ada
pendapat dia kembali ke tempatnya bersemayam di sebelah utara Nduren di
panembahan Garut).
Malam selasa
keliwon berikutnya para pemuda sudah berbondong-bondong menuju rumahnya untuk
menyaksikan Nyi Kuning joged, tetapi semua pemuda merasa kecewa karena yang
ditunggu-tunggu tidak muncul-muncul, ahirnya para pemuda masuk kerumahnya dan
hanya ditemui Ibu angkatnya yang menyampaikan bahwa sejak pagi tadi si Kuning
pergi ke Nusawungu katanya mau menari disana, malam itupun menjadi malam yang
sepi yang tersisa tinggal cacagan kenclung yang baru dipakai untuk mengiringi
Nyi Kuning menari.
Selanjutnya
Kenclung yang sudah dirangkai dengan tali
itu dilepas lagi dan dibagikan kepada teman-temanya, oleh para pemuda
digunakan untuk mengiringi para perempuan yang biasa menemani Nyi Kuning
menari, dalam perkembanganya kenclung itu disusun menjadi yang kita kenal
dengan Bongkel sekarang ini.
Sampai sejarah
ini ditulis cacagan kenclung itu bagian-bagianya masih ada dan dirawat oleh
anak turunya yang oleh pemiliknya sekarang disebut dengan sebutan ”Calung Babon” dan masih dipakai jika ada pertunjukan
lengger sampai sekarang. (Istilah calung babon selanjutnya di gunakan untuk
menyebut calung pembuka/calung barung) ( Narsum: Sandikin alm, Namiarja alm.Tamiarji, Kasmiarjo
dll)
1.3.
Panja Kenclung;
Panja kenclung
adalah alat untuk melubangi tanah yang akan menjadi media benih padi atau
palawija dimusim tanam lahan kering, dibuat dari batang kayu keras dibuat
runcing ujung bawahnya dan ditengahnya di pasang kenclung (bambu wulung satu
ruas bentuknya seperti calung sekarang ini dan diikatkatkan pada batang panja)
alat ini pada masanya hanya digunakan oleh para tuan tanah untuk mengontrol
kinerja para kuli yang bekerja di lahanya, dengan suara kenclung itulah sang
pemilik tanah akan tahu siapa yang bekerjanya cepat dan siapa yang lambat.
Biasanya orang
yang diketahui lambat kerjanya pada esok paginya tidak boleh ikut bekerja lagi.
Dari panja
kenclung inilah kemudian timbul kreasi masyarakat Geruren untuk membuat alat
musik yang bisa dimainkan sendiri, alat musik itu biasanya digunakan oleh para
petani dalam menghalau binatang perusak tanaman, alat ini di kenal dengan nama ”Bongkel”,
karena alat ini dimainkan dengan jemari tangan maka alat ini hanya terdiri dari
empat buah batang bambu dan empat titinada.
Dari bongkel ini, seiring perkembangan sosial kemudian berkembang menjadi ”angklung”, bentuk alat ini sama dengan bongkel, perbedaanya terletak pada : kalau bongkel empat nada di
rangkai menjadi
satu dan dimainkan dengan jari jemari digetarkan satu-satu, kalau angklung satu
rangkai berisi tiga buah terdiri dari satu nada tinggi, tengah dan rendah, cara
memainkanya digetarkan bersama.
1.4.
Calung;
Calung berasal dari kata ”Nyacag Kenclung” (mencincang/memotong kenclung), kemudian
berubah menjadi ”Ca Lung” karena pada masanya musik ini juga sangat disukai
oleh anak-anak sehingga penyebutan ”Caglung” tereduksi menjadi tidak jelas
penyebutanya dan anak-anak menyebutnya dengan ”calung” yang oleh orang tuanya
ditirukan sebagai ungkapan kesayangan pada anak-anaknya, ada juga yang
berpendapat berasal dari kata ”nyacah wulung”, ” Carangan Wulung”, ”Ngencal
Wulung” dan mungkin masih ada pendapat lain juga yang tidak diketahui oleh
penulis.
Calung adalah
perkembangan dari panja kenclung yang pada masnya sewaktu digunakan untuk mengiringi tarian Nyi
Kuning dan para remaja di Gerduren stelah selesai bekerja pada musim tanam
sering rontok dan jatuh sehingga mengganggu ritme permainan dan acapkali
pertujukan terhenti untuk memperbaiki, dari situlah para pemuda waktu itu ber improfisasi dirangkai dengan tali dan
dikaitkan pada bilah di ujung kanan kirinya yang pada perkembangan selanjutnya
menjadi calung seperti yang kita kenal sekarang ini.
Pada awalnya
titinada calung ini tidak beraturan
hanya seperti kentongan biasa, tapi ketika lagu sekar gadung sudah
banyak dihapal, titinada calung ini mengikuti laras melodi lagu tersebut,
sementara yang lain berfungsi seperti kentongan biasa untuk mengiringi lagu
tersebut, dalam perkembanganya laras calung ini disusun menjadi titinada yang
ada sekarang.
(Narsum: Sandikin alm. Tamiarji, Kasmiarjo dll)
1.5.
Wisuda Lengger;
Perkembangan kesenian lengger dari waktu kewaktu begitu pesatnya
sepeninggalan Nyi Kuning dari Desa Gerduren.
Keberadaan Nyi
Kuning di Gerduren pada waktu itu diyakini sebagai penjelmaan Nyi Kastinem
penari lengger dari sebangsa mahluk gaib yang berada di satu tempat di sekitar
desa, sehinga dalam prosesi upacara wisuda penari lengger selalu melakukan
ritual pemujaan di tempat tersebut.
Upacara wisuda
lengger Gerduren dilakukan bukan ditandai dengan pelepasan keperawanan si calon
penari lengger seperti yang digambarkan pada kisah cerita tentang ”ronggeng”,
akan tetapi prosesi upacara wisuda lengger sangat berbeda, upacara wisuda
lengger itu dilakukan sebagai satu
bentuk ritual yang menjadi syarat bahwa si calon penari itu sudah memenuhi
kriteria dan syarat sebagai seorang penari lengger, kalau kemudian terjadi
penyelewengan seksual itu semata-mata hanya kasuistik dan kejadian itu sangat
dipengaruhi oleh perilaku para seniman itu sendiri karena hal seperti itu bisa
saja terjadi dimana-mana bukan hanya pada lengger saja.
Prosesi upacara
wisuda lengger yang lazim dilakukan di Gerduren sejak jaman dahulu kala adalah
:
Untuk menjadi penari lengger adalah seorang perempuan yang lazim biasanya
harus sudah berusia minimal sembilan tahun dan sudah mengikuti latihan menerari
dengan para seniornya, jika cara menarinya sudah bagus maka si calon penari
harus melakoni ritual selanjutnya;
Setelah calon
penari lengger sudah memenuhi kriteria, maka oleh orang tua si calon penari
biasanya diserahkan kepada sesepuh/tetua dan oleh tetua, si calon penari
dibimbing untuk melakukan ngasrep (puasa tidak makan manis, asin dan
makanan/minuman yang masih panas) selama tujuh hari dimulai dari hari
kelahiranya.
Ritual ini dilakukan agar supaya si calon penari ini menjadi bersih kulitnya dan wajahnya bersinar, dengan begitu maka sang calon penari memiliki daya tarik.
Selama melakoni ritual ngasrep sang calon penari pada malam keramat (selasa
dan jumat kliwon) di ajak oleh sesepuhnya untuk ziarah di makam- makam keramat
yang dianggap perlu dan diajak melakukan pemujaan di lokasi keberadaanya indang
Kastinem agar energi/indang kastinem ini merasuki jiwanya.
Jika ritual laku batin (ngasrep) sudah dilakukan dan sudah melakukan ziarah
dan pemujaan kemudian calon penari dusuruh melakukan mandi malam hari sejumlah
tujuh sumur harus selesai dalam satu malam itu, sayarat sebelum melakukan mandi
ini calon penari harus sudah berziarah kemakam tertentu terlebih dahulu. untuk
menjalani riual mandi malam harus melalui jalan yang tidak mungkin diketahui
oleh orang lain, karena kalau sampai ketahuan, harus diulang pada hari keramat
yang akan datang lagi.
Jika semua syarat prasyarat sudah memenuhi, maka pada malam hari kedua atau
ke empat dari hari kelahiran si calon penari lengger akan diwisuda oleh sang
kesepuhan perempuan yang telah mengajari tentang mantra dan doa, biasanya
kesepuhan itu berasal dari bekas penari lengger waktu mudanya.
Berbagai hal kelengkapan upacara disiapkan dari mulai sesaji, kusan,
kenduri dan lagu yang harus didendangkan sang calon penari harus sudah dikuasai
sebelumnya (sekar gadung), pada saat itulah energi/indang lengger akan masuk,
bagi yang faham akan mengetahui perbedaan antara sebelum dan sesudah masuknya
indang kedalam jiwa sang penari, jika ternyata belum dapat masuk dalam waktu
upacara, maka meskipun sang calon penari sudah resmi menjadi lengger, akan
tetapi harus selalu melakukan ritual-ritual lanjutan sampai benar-benar si
calon penari ini menjadi lengger yang digandrungi banyak orang.
Dengaan di
wisuda maka seseorang telah resmi menjadi seorang lengger, sesaji dan
perlengkapan yang digunakan semua mengandung pesan ritual yang membimbing dan
mengarahkan sang penari untuk memahami makna hidup dan ketuhananya sehingga
dalam menjalani sebagai seorang lengger menjadi seorang yang profesional dan
mandiri dengan tetap berpegang pada nilai-nilai sepiritual.
(Narsum : Tasem, Warsiyah dll)
2. Lengger Di Masa Orde Baru;
Desa Gerduren yang identik dengan kesenian lengger pada
masa Orde Baru mengalami perkembangan yang cukup pesat, sejumlah kelompok
kesenian tumbuh baik di Gerduren maupun di desa-desa lain di wilayah Banyumas,
ratusan penari lengger telah dinobatkan di Gerduren. Dari hasil identifikasi
ditemukan banyaknya warga dari berbagai wilayah yang berlatih lengger di
Gerduren yang kemudian berkembang menjadi kesenian khas Banyumas.
Nama-nama penari lengger Gerduren yang dapat di identifikasi antara lain :
Daftar Penari
Lengger Yang Dapat Di Identifikasi
No |
Nama |
Tahun |
1. |
Nini Racik |
|
2. |
Nini Lajem |
|
3. |
Nini Tawen |
|
4. |
Nini Warsinah |
|
5. |
Nini Tasiyah |
|
6. |
Nini Dasinah |
|
7. |
Nini Kardem |
|
8. |
Nini Sidem |
|
9. |
Nini Rajem |
|
10. |
Nini Tasem |
|
11. |
Nini Kaidah |
|
12. |
Nini Wasitem |
|
13. |
Nini Sakirah |
|
14. |
Nini Watiyah |
|
15. |
Nini Karinah |
|
16. |
Nini Satiyem |
|
17. |
Nini Natiyah |
|
18. |
Nini Toliyah |
|
19. |
Nini Asminah |
|
20. |
Nini Ratiyem |
|
21. |
Nini Warsiyah |
|
22. |
Nini Ramiyah |
|
23. |
Nini Kursinah |
|
24. |
Nini Soliyah |
|
25. |
Nini Sutinah |
|
26. |
Nini Tarsiwen |
|
27. |
Nini Sumarsih |
|
28. |
Nini Kartinem |
|
29. |
Nini Turmi |
|
30. |
Nini Asmini |
|
31. |
Nini Sunarti |
|
32. |
Nini Samyati |
|
Nama-nama tersebut diatas adalah nama-nama hasil identifikasi yang populer
sejak jaman orde Baru sampai buku ini di tulis (2011-2012), sementara masih
banyak penari sebelum masa itu yang tidak dapat di identifikasi dengan pasti.
BAB V
ADAT ISTIADAT DESA GERDUREN
1. Siklus Kehidupan Masyarakat;
1.1. Baju dan Pedaringan;
Sebagai perempuan Jawa, anak Ki Cadiwangsa tidak berani mengutarakan
perasan cintanya yang telah berlabuh pada Ki Warga Dipa kepada orang tuanya,
namun secara sembunyi-sembunyi dia sudah mengisaratkan perasaan itu pada Warga
Dipa.
Ternyata secara
diam-diam Kaki dan Nini Cadiwangsa juga sangat memperhatikan anak perempuanya
itu.
Diperhatikanya
anak perempuanya itu, selalu saja ketika Warga Dipa pulang dari rumahnya untuk
urusan pekerjaan dll, anak gadis ini pasti sambil tanganya bergantung pada
palang pintu matanya terus tertuju memandangi Warga Dipa sampai benar-benar
hilang dari pandanganya dan baru
menurunkan tanganya lalu beranjak dari pintu setelah Ki Warga Dipa tidak
terlihat lagi.
Melihat
kebiasaan anaknya itu Ki Cadiwangsa punya kesimpulan dan keyakinan bahwa anak
perempuanya itu sudah kepengin berumahtangga.
(kebiasaan
itulah yang secara turun temurun dilakukan oleh para pemuda pemudi Gerduren,
kalau sudah kepengin menikah dan tidak berani mengutarakan kepada orang tuanya
maka dia akan menggantungkan tanganya di palang pintu dan dengan begitu orang
tua secara otomatis mengerti maksudnya, kebiasaan ini pada dekade 1970 masih
sering dilakukan oleh keluarga tradisional)
Singkat cerita,
pada suatu malam di panggilah anak perempuanya itu oleh Ki Cadiwangsa ayahnya
dan ditanyai siapa sebenarnya pemuda yang menjadi impianya?, rasa malu dan
takut membuat gadis sawo matang, rambutnya kemerahan dan wajahnya yang teduh
ini diam seribu basa hanya sesekali menganggukan dan menggelengkan kepalanya.
Sebenarnya Ki
Cadiwangsa sudah yakin kalau anak perempuanya itu menyukai Warga Dipa, tapi
karena ditanya tidak mau menjawab, maka pada malam berikutnya Warga Dipa
dipanggil kerumahnya untuk di tanya kesediaanya apakah mau jika dikawinkan
dengan anak perempuanya itu, diapun diminta untuk tidak lagi tinggal di gubug
kuwuh di ladang dekat kerbaunya dia diminta pindah kerumah dan telah disediakan
kamar di balai depan, akan tapi sifatnya yang rendah hati dia masih menolaknya
untuk pindah kerumah, dia masih terus tinggal di gubug kuwuh (rumah ladang),
baru kemudian empat puluh hari sebelum pelaksanaan pernikahan Warga Dipa mau
pindah ke kamar balai.
Mendengar
tawaran itu Ki Warga Dipa langsung terbayang anak istrinya di Canduk yang
sebenarnya mau di boyong juga, tetapi rasa khawatir ketahuan kedoknya oleh
masyarakat Canduk membuat Ki Warga Dipa bingung, diapun menerima tawaran Ki
Cadiwangsa, akan tetapi tiga hari sebelum dia pindah ke kamar balai, dia minta
ijin pada calon mertuanya untuk meninggalkan rumah selama tiga hari untuk
melakukan semedi. Mendengar permintaan itu Ki Cadiwangsa tidak langsung
memberikan ijin, mereka sangat khawatir kalau Warga Dipa mau pergi dan tidak
kembali lagi ke Desa Lor, maka Warga Dipa sebelum pergi diminta untuk
meninggalkan satu setel pakaian yang paling dia sukai, permintaan itupun di
sanggupi oleh Warga Dipa dan diserahkanya satu setel pakaian hitam dan celana
komprangnya lalu pergilah dia.
Sepeninggalan
Warga Dipa pakaianya itu diserahkan kepada anak perempuanya yang bakal di
kawinkan dengan Warga Dipa dan disuruhnya agar pakaian itu ditaruh kedalam ”pedaringan”
(kuwali tempat menyimpan beras).
Warga Dipa pun
meninggalkan rumah, berjalan menuju arah barat menyusuri lembah hutan gerbunder
dengan perasaan gelisah, dia teringat anak istrinya yang ditinggalkanya di
Canduk dan dia berhenti tepat diatas sungai tajum di lembah hutan
gerbunder duduk dibawah pohon jati
besar, dalam hatinya dia ingin kembali ke Canduk akan tetapi perasaan ragu dan
takut ketahuan oleh masyarakat Canduk telah menghentikan langkahnya, merenung,
melamun pikiranya mengawang dibayangi wajah anak istrinya di Canduk, namun
senyuman gadis Nduren juga terus menahan langkah kakinya, dia terus merenung
sampai tiga hari tiga malam berada dibawah pohon jati itu. Malam pertama dan
kedua dia masih dalam kebimbangan, akan tetapi tengah malam, pada malam ke tiga
dia terus mendengar suara lembut gadis Nduren memanggilinya, wajahnya yang
teduh dan senyumnya yang terurai telah mematri kerinduan yang luar biasa, maka
pagi hari ketika jago kluruk ramai kapiarsih (Kokok ayam terdengar ramai pagi
hari) dia sudah berada diberanda rumah sang calon mertua dia terseret gelombang
kerinduan dan diapun kembali.
(Sejak saat
itulah kepercayaan masyarakat Gerduren jika mengundang saudara atau siapapun
yang jauh agar kembali maka dengan ditambah mantra-mantra tertentu dan di
taruhnya pakaian kesayanganya kedalam pedaringan, maka dalam jangka waktu
tertentu pula orang yang dimaksud akan kembali, kepercayaan ini masih dipercaya
oleh sebagian masyarakat tradisionil Desa Gerduren sampai sekarang.)
Ki Warga Dipa yang berniat pulang ke anak istrinya di Canduk urung dan dia
benar-benar akan dinikahkan dengan gadis Nduren, hari, tanggal telah ditentukan
oleh sang calon mertua segala sesuatunya mulai disiapkan.
Tibalah hari
pernikahan itu (Kamis kliwon Bulan Sura
Tahun 1813), pernikahan yang dimeriahkan dengan pertunjukan lengger menjadi
sangat meriah, hampir semua tamu undangan ikut berjoged bersama sang penari.
1.2. Nyepasari;
Ki Warga Dipa yang resmi telah dinikahkan, seperti adat kejawen
lazimnya, maka sebagai
adat kebiasaan sang mertua selalu memberikan nama khusus/nama tua kepada
pengantin laki-laki, biasanya nama yang dipakai adalah nama Marga sang mertua.
Pada
malam nyepasari ( lima hari pasaran setelah perkawinan) di balai rumah Ki
Cadiwangsa diselenggarakan kenduri yang dihadiri oleh para penduduk dan tangga
teparo, pemberian nama tua kepada Ki Warga Dipa tidak diketahui, bahkan ada
yang berpendapat bahwa Warga Dipa adalah nama tua yang diberikan oleh sang
mertua. Adat ritual Nyepasari ini masih berjalan terus sampai sekarang (2011), semua pemuda di
Gerduren yang telah menikah punya dua nama, nama muda dan nama tua pemberian
sang mertua. Panggilan sehari-hari sang mertua kepada anak menantunya
pasti panggilan nama tua.
Tata upacara
adat nyepasari biasanya dilakukan dengan : sebelum kobul dilaksanakan, biasanya
diumumkan secara resmi kepada peserta kenduri nama tua sang pengantin laki-laki
tersebut (sidadap, siwaru dll) baru kemudian dilakukanlah ritual kenduri itu
dengan tumpeng dan sesaji selamatan.
1.3. Prosesi Adat Pernikahan;
Perkawinan bagi masyarakat Gerduren adalah dipercaya sebagai peristiwa yang
sangat istimewa karena menyangkut keberlanjutan keidupan, karena diyakini
sangat berpengaruh terhadap keberlansungan hidup maka pernikahan bagi aorang
Gerduren harus melalui beberapa tahapan dan perhitungan.
Pada dekade
sebelum tahun 1970 bahkan perkawinan hanya ditentukan oleh kedua orang tua, si
pelaku tidak mengetahui siapa jodoh mereka, orang tua mereka berembug dengan
berdasar pada tiga kriteria :
a. Bobot;
Bobot yang dimaksud dalam pertimbangan pernikahan adalah menyangkut
kekayaan masing-masing keluarga calon mempelai artinya bagi anak laki-laki yang
berasal dari keluarga kaya tidak akan dinikahkan dengan keluarga miskin dan
bagi keluarga kelas menengah kebawah juga tidak akan berani melamar gadis yang
berasal dari keluarga kaya terkecuali ada pertimbangan bibit dan bebet, si
calon mempelai baru mengetahui siapa calon suami/istri mereka setelah
dilaksanakan gotek (lamaran).
b. Bibit;
Pertimbangan orang tua dalam menikahkan anaknya juga mempertimbangkan
keturunan, dimana pertimbangan ini juga menjadi media introspeksi bagi orang
tua, jika merasa berasal dari keturunan yang baik maka pasti akan memiih calon
suami/istri anak mereka dari keturunan orang yang baik pula.
Keturunan yang
baik artinya adalah berasal dari keturunan orang-orang yang sehat secara
jasmaniah dan bukan dari keturunan orang-orang yang jahat baik terkini maupun
dimasa kakek buyutnya, pertimbangan ini sampai saat ini adalah merupakan
satu-satunya pertimbangan yang masih di pegang kuat-kuat oleh masyarakat.
Pada
perkembanganya akibat pengaruh global yang berdampak pada kebebasan bergaul
pertimbangan bobot dan bebet ini tidak lagi menjadi dasar dalam pernikahan,
perkawinan seseorang kini hanya ditentukan oleh rasa cinta masing-masing para
pemuda pemudi yang sudah memasuki usia pernikahan kecuali pertimbangan bibit.
c. Bebet;
Jika sebuah pernikahan seseorang di Gerduren dapat memenuhi lengkap tiga
kriteria dimaksud maka diyakini si mempelai akan menemui kehidupan yang
harmonis dimasa depan karena yang dimaksud dengan pertimbangan bebet adalah
sebuah harapan dari masyarakat agar anak keturnanya mendapatkan jodoh dari
kalangan orang-orang yang memiliki derajat sosial tinggi (kaum peyayi,
bangsawan dan orang-orang terkemuka dan berpangkat).
d. Misan dan Weton;
Tiga pertimbangan (bobot,bibit,bebet) dari pernikahan seseorang adalah
sebuah idialisme sebuah pembangunan keluarga, akan tetapi ada dua hal penting
yang selalu diyakini akan mempengaruhi
kehidupan keluarga tersebut yakni yang dikenal dengan istilah misan.
Misan adalah
sebuah perkawinan terlarang dan jika kondisi ini tetap dilanggar maka yang
bersangkutan dalam kehidupan rumahtangganya diyakini tidak akan pernah
menemukan kebahagiaan bahkan sebaliknya dan yang dimaksud dengan misan adalah
perkawinan laki-laki dan perempuan yang berasal dari dua ayah satu keturunan
kakek/nenek si calon mempelai. (ayah masing-masing calon mempelai adalah kakak
beradik dari satu keturunan).
Disamping misan
kebahagiaan keluarga juga dapat dilihat dari perhitungan wton masing-masing
calon, meskipun ketiga perimbangan bobot, bibit, bebet dan bukan misan telah
terpenuhi namun jika perhitungan hari (weton) kedua mempelai jatuh pada
peritungan sial, maka keluarga tersebut juga diyakini akan menemui kesialan
berkepanjangan dalam kehidupan rumahtangganya.
Weton terbaik
dalam sebuah perkawinan yang diyakini di Gerduren adalah yang memiliki jumlah
hitungan 6 (enam), hitungan ini jatuh pada ”Pedaringan
kebek” (Penyimpan beras penuh), makna yang tersirat adalah bahwa dua orang
pengantin yang memiliki hitungan enam didalam hidupnya tidak pernah kekurangan,
rejekinya lancar ibarat penyimpan berasnya selalu penuh dan weton terjelek
adalah jika perkawinan dua orang laki-laki dan perempuan yang memiliki arti ”Pegat” atau jatuh pada hitungan ”Mati” , sementara hitungan weton dua
orang calon pengantin yang jatuh pada hitungan ke 7 (tujuh) mengandung simbol ”Pancuran emas” namun peristiwa ini
sangat langka dan kalau ada biasanya yang bersangkutan tidak kuat mengembanya.
1.4. Ritual Kelahiran Anak;
Ketika seorang pengantin baru di Desa Gerduren dikaruniai anak maka,
perilaku sepiritual dan ritual harus dilakukan sedini mungkin, dimana selama
anak masih dalam kandungan, orang tua harus berperilaku baik tidak boleh
berbicara kasar, membenci seseorang dan memperlakukan mahluk lain dengan
semena-mena karena jika itu dilakukan maka anak yang terlahir akan terpengaruh
bahkan cacat.
Ketika umur
kandungan sudah 7 bulan kemudian dilakukan upacara mitoni/mitulikuri/keba
dengan tatacara adat yang meliputi pembuatan tumpeng kuat dan komaran, tumpeng
kuat dibuat sebagai simbol harapan agar anak yang dikandung kelak akan menjadi
orang yang kuat dalam menghadapi segala tantangan sedangkan tumpeng komaran
dibuat sebagai simbol harapan agar anak yang di kandung menjadi orang yang
lincah dalam menghadapi persoalan hidup dan di dalam tumpeng di isi dengan belut juga mengandung harapan
agar dalam proses kelahiranya dipermudah, licin seperti belut.
Dalam upacara
keba juga di sajikan rujak buah yang terdiri dari buah pokok Cengkir Gading,
buah pace (mengkudu), burus dan katibabal ditambah semua buah-buahan segar yang
tumbuh di lingkungan desa, harapanya dari rujak buah ini akan mempengaruhi perilaku
anak yang akan dilahirkan, seperti misalnya buah cengkir gading harapanya kelak
anak yang dilahirkan memiliki kulit yang kuning langsat seperti buah kelapa
gading kuning kulitnya dll.
1.5. Adat Sunatan;
Sejarah sunatan atau khitanan bagi anak laki-laki di Gerduren dikenal sejak
masuknya agama Islam di Jawa yang oleh masyarakat juga disebut dengan
”ngislamaken” (mengislamkan).
Bagi anak
laki-laki peristiwa ini pada jaman dahulu juga untuk menandai bahwa dia sudah
akil baligh yang pada perkembanganya sekarang makna ini bergeser dan sunatan
banyak dilakukan bagi anak lelaki di bawah umur 12 tahun yang merupakan batasan
akil baligh bagi lak-laki bahkan banyak anak balita sekarang sudah dilakukan
sunatan.
Beberapa perilaku adat lain yang masih
terus diyakini oleh masyarakat seperti, boyongan rumah, sedekah bumi, nyadran,
pranata mangsa, pamali-pamali, penamaan anak dll yang juga mengandung
mantra-mantra tertentu akan menjadi kajian selanjutnya untuk melengkapi
himpunan ini.
2. Pergaulan dan Sopan Santun;
2.1. Pergaulan Anak-anak;
Secara
umum pergaulan anak-anak di Gerduren pada kurun waktu sebelum tahun 1975, anak
laki-laki dan perempuan bermain bersama-sama baik siang hari di sawah ketika
musim kemarau maupun di pelataran rumah ketika malam hari.
Dari pergaulan
anak-anak digerduren banyak sekali muncul permainan dan nyanyian yang sekarang
sudah tak lagi terdengar dari mulut anak-anak, beberapa lagu dan permainan yang
berkembang pada masanya adalah misalnya : gonjing, gaol, dalidemo, gobag sodor,
gandon, bentik, ilo-ilo gonto, dromenan, layangan, permainan dan lagu-lagu
tersebut sering diperagakan oleh anak-anak sambil menggembala ternak dan atau
malam hari ketika padang rembulan.
2.2. Pergaulan Remaja;
Pergaulan remaja desa pada umumnya memiliki karakter dan kebiasaan yang
berbeda di masing masing desa seperti pepatah yang menyebutkan ”Desa mawa cara,
bumi mawa ciri”, di Gerduren pergaulan remaja dari dekade ke dekade terus
mengalami perubahan.
Pada masa kakek
buyutnya dahulu menurut cerita masyarakat bahwa fase remaja pada jamanya itu
tidak terlalui dan dinikmati seperti remaja sekarang karena pada usia 12 s/d 15
tahun yang mestinya sedang mencari bentuk dan jati dirinya namun pada
jamanya para remaja usia tersebut harus
membanting tulang di sawah ladang membantu mencari nafkah bagi keluarganya,
bagi remaja putri pada usia tersebut oleh orang tuanya harus menikah karena
jika melampaui batasan itu keluarga akan malu dianggap anak perempuanya menjadi
perawan tua yang tidak laku, pendidikan sekolah mulai dikenal dan ada di
Gerduren baru pada dekade tahun 1915 itu saja hanya orang-orang tertentu yang
mau menyekolahkan anaknya dan rata-rata hanya sampai kelas dua tingkat sekolah
dasar.
3. Ritual dan Pengelolaan Sumberdaya Alam;
Sebagai desa terisolir soko guru perekonomian desa
Gerduren adalah pertanian tadah hujan dan perajin gula kelapa yang ketika musim
kemarau tiba artinya menghadapi musim paceklik, untuk mengatasi musim paceklik
ini ada pranata adat yang dulu dikenal dengan lumbung desa.
Sebelum perkembangan Islam masuk di Gerduren, para petani masih sangat
kental dengan adat dan kepercayaan animisme dinamisme dimana pranata kehidupan
keseharianya mengacu pada ilmu klenik, kejawen dan kepercayaan, dalam kegiatan
pertanian dikenal dengan berbagai istilah ritual kejawen yang dianutnya
seperti: Nglabuih, mimiti, nuju, nyonggah, untuk budidaya tanaman padi, untuk
penanaman tanaman tahun baik buah maupun kayu semua ada mantra dan tatacaranya
sendiri agar diperoleh hasil yang maksimal. yang kesemuanya menggunakan
mantra-mantra kejawen, akan tetapi seiring perkembangan Islam dan tehnologi,
upacara-upacara adat tersebut semakin hilang dari masyarakat.
Program pemerintah Orde Baru dalam rangka mengatasi stabilitas pangan di
bidang pertanian antara lain dengan Inmas,
Insus, Bimas dan lain-lain, program ini menjadi penggerak perubahan pola
pertanian dari bertani tradisionil ke pertanian modern, rakyat mulai
diperkenalkan dengan pupuk kimia, meskipun pada awalnya banyak petani yang
menolaknya, menganggap racun dan ketika di beri pupuk secara gratis oleh
pemerintah, banyak yang hanya di tumpuk di belakakng rumah sementara sawah
ladangnya tetap dipupuk dengan pupuk kandang, akan tetapi lambat laun justru
mereka ketagihan bahkan sekarang menjadi ketergantungan.
Banyaknya varietas padi baru yang umurnya lebih pendek ditawarkan, semakin
mempercepat perubahan dan melimpahnya hasil panen, tetapi dengan melimpahnya
hasil panen secara otomastis juga menurunkan nilai jual hasil panen tersebut,
pada jaman itu dua kuintal padi sudah dapat membeli satu buah sepeda motor akan
tetapi semakin modernya desa justru hasil panen makin tak ada nilainya.
3.1. Nglabuhi;
Ritual nglabuhi dilakukan oleh petani ketika hendak memulai pekerjaan
taninya dengan membuat sesaji baik di rumah maupun di sawah, sesaji ini
diperuntukan bagi penguasa bumi agar
dalam melaksanakan olah tanah diberikan ijin dan tidak ada gangguan serta
tanahnya menjadi subur.
3.2. Mimiti;
Ritual mimiti dilakukan oleh para petani ketika memulai panen padi, tata
cara ritual ini dimulai dengan memasang sesaji baik dirumah maupun di sawah
kemudian mengambil satu pasang pengantin padi laki dan perempuan di bawa
kerumah di letakan di sesaji, pada jamanya dahulu pengantin ini di arak oleh
segenap keluarga bahkan kerabat layaknya pengantin akan tetapi pada
perkembanganya hanya cukup diambil oleh kepala keluarga saja bahkan sekarang
hanya satu dua orang saja yang melakukan ritual mimiti.
3.3. Nyonggah;
Nyonggah adalah istilah yang biasa di gunakan oleh para petani di Gerduren
untuk mengangkut hasil panen padi dari sawah ke rumah, setelah sampai dirumah
padi-padi ini di ”pondok” (di timbun) dan di sisi pondokan diletakan air dadap
asrep dengan harapan setelah padi di sawah yang panas menjadi dingin begitu.
juga setelah padi dijemur akan diperlakukan sama dengan semua mantra yang
berkaitan dengan padi selalu ditujukan kepada Dewi Sri selaku penguasa padi.
Sesungguhnya
masih banyak perlakuan-perlakuan sepiritual dalam pengelolaan pertanian dan
perkebunan yang belum sempat di dokumentasikan.
4. Permainan Tradisional;
Permainan tradisional yang berkembang di gerduren ada beberapa permainan
meskipun sekarang sudah jarang bahkan tak lagi dimainkan oleh remaja desa
karena tergeser oleh gencarnya modernisasi desa, tehnologi informasi dan makin
menjamurnya permain modern, antara lain permainan tradisionil yang berkembang
pada masanya adalah:
4.1. Gandon;
Permainan ini adalah permainan menggunakan media batu yang dilakukan oleh
dua s/d enam orang dengan membariskan batu kemudian masing masing memukul
barisan batu itu dengan tangan dan kakinya, cara memainkanya, pertama dilempar
dengan tanganya kemudian dipukul dengan membalikan badan atau ayang lalu
dengan batu yang di ayun menggunakan kakinya, berjalan dengan kaki satu dipukulah
barisan batu satu persatu agar roboh, barang siapa yang tidak mampu merobohkan
barisan batu itu dianggap kalah.
4.2. Bentik;
Kalo permainan bentik ini menggunakan media kayu, dilakukan secara beregu,
diawali dengan undian siapa yang kalah dan siapan yang menang akan melakukan
permainan pertama, sementara regu yang kalah menghadang lemparan kayu dan jika
tertangkap kemudian dimasukan ke dalam lubang tempat melontar maka si pemain
pertama dianggap kalah sementara teman-teman regu pertama juga menghadang
lontaran kayu dari temanya untuk dilempar sejauh mungkin jika tidak tertangkap
oleh musuh maka jarak lemparan itu akan dihitung dengan tangkai pelontarnya,
regu yang menang adalah regu yang memiliki jumlah jarak paling panjang,
permainan gandon dan bentik ini biasanya hanya dimainkan oleh anak laki-laki.
Dan masih banyak
permainan-permainan lain yang belum sempat di dokumentasikan. (Gonjing, gaol,
gobag sodor, ulur-ulur kecombrang, slekdur, jonjang umpet, jonjang dalidemo,
jonjang ris irisan telo, jonjang jiroma, cim-ciman, wek uwek angge-angge,
tut-tut geratut dll)
BAB VI
PENAMAAN DESA VERSI DUA
1. Jaman
Pasir Luhur (Kisah I)
Penamaan Desa geruren Versi ini diawali dengan perjalanan seorang pemuda
yang ingin mnegabdikan dirinya menjadi prajurit Kadipaten Pasir Luhur akan
tetapi belum sempat dia menjadi prajurit dia sudah meninggal, kisahnya terus
berkembang.
Pada suatu waktu seorang pemuda yang
gagah berani bersama dua orang temanya bermaksud melamar menjadu prajurit ke
Kadipaten Pasir Luhur, perjalanan mereka pulang pergi melewati hutan gerbunder,
Nduren dan keluar di hutan Jatisaba.
Sesampainya
mereka di depan kadipaten Pasir Luhur mereka tidak langsung masuk ke gerbang
kadipaten, karena merasa ragu untuk menghadap, lalu mereka bertiga
beristirahat duduk di bawah pohon
beringin, barangkali karena kecapaian merekapun tertidur sampai kemudia
keberadaan mereka di depan gerbang diketahui oleh seorang prajurit yang sedang
berpatroli keliling kadipaten, dengan hati-hati dan waspada prajurit ini
memandangi dan mengamati satu persatu mereka bertiga, ketika pandanganya baru
tertuju pada salah seorang, mengamati wajahnya, prajurit ini curiga di dalam
hatinya mengatakan ”pasti satu orang
ini bukan orang biasa”, karena
tidak tampak seperti rakyat biasa
pemuda satu ini tampan dan gagah, lalu dibangunkanya tiga orang tersebut
oleh prajurit tadi, namun tiba-tiba ketika pemuda yang dimaksud baru mau
disentuh untuk dibangunkan dia langsung meloncat kebelakang prajurit tersebut
dan di pegangnya kuat- kuat pundak prajurit itu.
Sambil terus
dipegangnya kemudian terjadilah dialog antara pemuda itu dengan prajurit
tersebut, hampir saja kesalah pahaman menjadi perselisihan antara prajurit
dengan para pemuda tadi, menyadari bahwa yang dipegang adalah seorang prajurit
Pasir Luhur mereka langsung melepaskanya dan meminta maaf atas tingkah lakunya
itu.
Setelah terjadi
komunikasi, prajurit itu langsung dilepas agar menghadap menghadap kepada
Adipati untuk menyampaiakan kejadian itu.
Selang beberapa
waktu prajurit itu datang kembali dan di ajaklah mereka bertiga masuk ke dalam
kadipaten untuk menghadap Kanjeng Adipati.
Begitu menghadap
mereka bertigapun diterima dengan baik dan sebelum mereka menyampaikan maksud
kedatanganya, sang Adipati terkesima melihat ketampanan salah seorang dari
mereka dia langsung mengatakan ”Jika kalian bertiga benar ingin
mengabdikan diri di kadipaten ini seperti yang diceritakan oleh prajurit, maka
dengan senang hati saya terima, tetapi dengan satu syarat”
syaratnya salah
satu dari kalian akan dikawinkan dengan
salah seorang putri dari kadipaten ini.
Begitu mendengar
titah adipati kalu mereka di terima sebagai prajurit apalagi dia harus
mengawini putri Pasir Luhur mereka sangat girang dan gembiranya karena apa yang
diinginkanya ternyata terkabul bahkan mereka masing-masing merasa berdebar
debar hatinya ketika dia diminta untuk mengawini salah seorang putri Pasir
Luhur, masing-masing berharap terpilih menjadi menantu Adipati Pasir Luhur.
Sejak saat
itulah mereka bertiga dihinggapi pikiran dan rasa tinggi hati, saling curiga
dan berusaha menjadi yang terpilih, malam hari di barak prajurit mereka tak
bisa tidur semalaman memikirkan dan membayangkan wajah putri seperti apa yang
bakal menjadi istrinya.
Setelah satu
hari satu malam beristirahat di bedeng
prajurit, pagi harinya salah seorang dari mereka di panggil oleh sang adipati
(Ki Uda Leksana) disuruhnya dia pulang dulu untuk menyiapkan diri dan
berpamitan kepada keluarganya. Tanpa berfikir panjang setelah selesai
pembicaraan dengan sang adipati dia langsung berpamitan dan mengajak temanya
pulang untuk menyampaikan hasil dan sekalian meminta restu kepada keluarganya.
Dengan perasaan
gembira merekapun pulang melewati hutan
Jatisaba yang menjadi jalan ketika berangkatnya kemarin.
Di tengah hutan
mereka terus berjalanan akan tetapi mereka merasa sangat aneh karena tidak
menemukan jalan waktu berangkat, kesombongan, tinggi hati dan kecurigaanlah
yang menghinggapi pikiran mereka
sehingga membuat mereka tersesat di tengah hutan, mereka merasa sudah
berjalan sangat jauh tetapi ternyata mereka hanya terus berputar-putar dan
kembali pada jalan yang sama.
Perjalanan sudah
satu setengah hari, capai, haus, lapar dan dahaga memaksa mereka menghentikan
perjalanya. Sambil beristirahat
merenungi kenapa jadi tersesat,
gelap tidak tau arah dan bingung kemudian mereka berfikir bahwa perasaan
sombong dan getaran cinta itulah yang mungkin telah mengotori pikiranya, mereka
bertiga telah terbentur asmara tak menentu, salah seorang dari mereka yakin
betul perasaan itulah yang membuat dia tersesat, kemudian pemuda itu mengambil
sebuah batu dan dengan sekuat tenaga ditancapkan sambil menggerutu ”kita
ketranggul asih” (kita terbentur
asmara), dengan peristiwa itu mereka masing masing berjanji untuk tidak saling
berebut siapa yang akan dipilih untuk dikawinkan dengan putri Pasir Luhur oleh
sang Adipati dan batu ini mejadi saksi kita bertiga kata mereka. sejak saat
itulah tempat itu dinamai ”Tranggul Asih” , begitu batu ditancapkan
suasana menjadi berubah terang dan sadarlah mereka bahwa ternyata perjalanan
sudah sampai di perbatasan hutan Gerbunder, mereka kemudian meneruskan
perjalananya akan tetapi ketika mereka baru berjalan beberapa meter perasaan
lapar dan dahaga tak bisa ditahan dan memaksa mereka menghentikan langkahnya
lagi, merekapun beristirahat lagi untuk mencari air atau apapun untuk mengobati
rasa lapar dan dahagnya.
Tiba-tiba ketika
mereka tengah sibuk mencari air di tengah hutan perbatasan gerbunder tercium
bau harum yang cukup menyengat, lalu
mereka mencari sumber bau tersebut, dan ditemukanlah ternyata sumber bau
tersebut berasal dari buah yang berduri
tergeletak di semak, mereka berempat tidak tau apa nama buah itu karena memang
pada jamanya pohon tersebut tidak ada di pedesaan dan hanya ada satu satunya
terletak di hutan tersebut, saking penasaranya kemudian
temanya mengupas buah tersebut, kemudian dibelah buah
itu dengan pedangnya, rasa lapar mendorong mereka untuk mencicipinya dan
disuruhlah salah seorang untuk mencicipi.
“waahh manis,
enak kaya madu”! kata salah seorang setelah menjilat isi buah tersebut,
kemudian tanpa basa basi mereka
melahapnya, begitu habis satu buah, lalu semua buah yang tergeletak
disemak diambili sampai kemudian mereka
kenyang.
Selesai makan
salah seorang bertanya pada temanya yang
lain “apa nama buah ini kok
enak dan manis ya”? mereka pun bingung kemudian salah satu menjawab “
saya juga tidak tahu apa nama buah ini, tapi kalo dilihat kulitnya yang berduri
dan manisnya kaya madu, maka buah ini kita beri nama buah ”Madu Eri saja” kata
pemuda tadi.
Menurut
Keyakinan orang Gerduren pada perkembanganya buah ini lazim disebut dengan buah
”Duren” yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan buah ”Durian” berasal dari kirata basa atau singkatan dari
”du” itu ”Madu” dan ”ri” itu ”eri” (duri)
Ditengah lahapnya
mereka menikmati buah durian, tiba-tiba salah seorang dari mereka
menghentikanya ”sebentar teman-teman, saya merasa ada yang aneh dari buah
ini, bukankah ketika berangkat kemarin kita juga lewat disini,
dan
kemarin tidak ada pohon ini disini, tapi kenapa tiba-tiba ada pohon ini?”
yang lainpun
mengiyakan keanehan itu
”Baiklah
mari stelah cukup istirahat ini, kita lanjutkan perjalanan ini dan besok lusa
kita coba lihat kesini lagi”
Dengan perut
yang kenyang mereka kembali meneruskan perjalanan pulang, sesampainya di rumah
mereka langsung menyampaikan hasil kunjunganya ke Pasir luhur pada keluarga
masing-masing bahwa mereka diterima, mereka juga mengutarakan semua
kejadian-kejadian aneh yang dialaminya dalam perjalanan pulang tadi.
Salah satu dari
mereka (ada yang menyebutnya Ki Uda Leksana/Mbah Jambon) betul-betul penasaran
dengan keberadaan pohon duren itu, maka ketika oleh dua orang temanya diajak
berangkat ke Pasir Luhur dia berhenti dibawah pohon duren itu dan tidak
melanjutkan perjalananya ke Pasir Luhur, dia malah bertapa dibawah pohon
tersebut selama tiga hari tiga malam.
Pada malam
pertama pertapaanya tidak ada masalah apa-apa, akan tetapi di tengah malam
kedua dia merasa tiba-tiba turun hujan
lebat sekali, petir menyambar-nyambar membuat situasi jadi menegangkan, dia
terus mencoba bertahan, tapi makin lama petir terasa mau menyambarnya, dingin
sudah menusuk ke jantungnya, saking dingin dan takut disambar petir itulah dia
tidak tahan lagi kemudian sang pertapa berlari tunggang langgang naik ke bukit
mencari tempat berteduh, petirpun terus mengikutinya menyambar-nyambar, setelah
sampai dibukit dia melihat ada rumah luas yang terang benderang, lalu tanpa
pikir panjang dia masuk kedalam rumah itu untuk berteduh, oleh tuan rumah dia
disuruh duduk pada risban kayu (kursi panjang), dan tuan rumah meyalaminya
sambil memperkenalkan diri ”Saya Ki Garur yang tinggal di sini, silakan
duduk kisanak” lalu sang pertapa duduk sambil terus kedinginan dan
ketakutan.
”Ki
sanak ini siapa?, dan darimana kok berlarian seperti ada yang mengejarnya? ”
” Maaf
Ki Garut, saya baru saja bersemedi di
bawah pohon buah madueri di balik lembah ini, tetapi tiba-tiba hujan turun
sangat lebat dan saya seperti dikejar petir hingga saya berlari dan masuk rumah
Ki Serut ini saya mohon maaf” tuturnya dengan
ter engah-engah
”Tidak
papa ki sanak, biar nanti hujanya kan berhenti, jangan kuwatir” lalu Ki
Garut keluar rumah melepas ikat kepalanya dikibaskanya ikat kepala itu, lalu
hujan pun berhenti seketika, Sang Pertapa juga tak lagi merasa kedinginan,
pakainya yang basah kuyup tiba-tiba menjadi kering kembali, rasa heran
menyelimutinya tapi dia tak kuasa mengatakanya.
”Terus
Ki sanak punya maksud apa kok bertapa disana?”
”Saya
hanya mematuhi perintah ayah saya yang melarang saya berangkat ke Pasir Luhur
Ki” Jawab sang pertapa
”Ooh,
memang benar patuhilah orang tuamu ki sanak, kalau kamu berani membatah orang
tuamu, maka kamu pasti akan mati sia-sia, ingat itu” tandas Ki Serut
”Baik Ki
dan terimakasih atas nasehatnya” jawab sang pertapa
Lalu sang
pertapa bertanya lagi ”Sebenarnya saya sedang berada dimana?, desa apa ini
ki?”
”Oooh,
ini namanya Desa Ger du ren ! ki sanak yang artinya Segere Kudu Leren (Segarnya
harus Berhenti) tidak boleh serampangan saja kalau mau menikmati desa ini ya” Jawab Ki
Garut sambil tersenyum sang pertapa pun Manggut-manggut lalu bertanya
lagi.
”lalu
saya mendengar suara ramai dengan tetabuhan bambu itu apa ki?’
”ooh
itu, itu si Kastinem sedang berlatih lengger, karena dia sebagai pelatih
lengger di desa ini ki sanak, dia asalnya dari jawa barat ki sanak” kata Ki
Garut.
Ditengah obrolan
mereka, nini Garut tiba-tiba muncul dari dalam rumah membawa buah durian yang
sudah dibelah dan ”silakan nak, ini kami baru panen durian ayo dimakan” sapa Ni Serut pada sang pertapa
”iya
terimakasih Ni” Jawabnya
”Ki
sanak” lanjut Ki Serut
membrikan wejangan”Kelak desa ini akan menjadi desa yang sangat terkenal
sampai ke negeri manca dengen lenggernya lho, tapi pada masanya juga desa ini
akan ada keluarga yang durhaka kepada orang tuanya, tidak mengakui
saudara-saudaranya karena orang tua dan saudara-saudaranya tidak mau mengikuti
ajaran yang dia peroleh dari negeri gunung pasir panas” lalu Ki Garut menawarkan buah durian tadi ”ayo
kisanak di cicipi, ini durian asli sini dan manis kaya madu coba ayo!” sang pertapa pun mengambil satu biji durian
tersebut, tapi ketika durian itu dimasukan kedalam mulutnya tiba-tiba dia
terlempar jauh kembali ketempatnya dia bertapa, dia kaget bukan kepalang karena tiba-tiba menjadi gelap gulita, dia terkejut
juga ketika menyadari ternyata pohon durian tempatnya bertapa telah lenyap
entah kemana dan dia hanya bersandar pada kayu serut yang kecil.
Dengan peristiwa
itu sang pertapa tidak melanjutkan pertapaanya tapi dia langsung pulang kerumah
malam itu juga dan sesampai dirumah dia menceritakan semua kejadian kepada ayahnya.
Kejadian itulah
yang menandai penamaan Desa Menjadi Desa Gerduren
Jika mengacu pada hasil penelusuran ini, maka pendapat lain yang
menyebutkan bahwa Arti Kata Gerduren berasal dari singkatan Gardu kanggo Leren
(Gardu Buat Istirahat) tidak sesuai dengan kisah yang ada dan ada pendapat lain
yang mengatakan bahwa Gerduren adalah Singkatan dari Igir Duren juga tidak
sesuai, karena dari cerita yang dihimpun tentang sang pertapa tadi menyebutkan
dalam hasil semedinya bahwa Gerduren adalah Singkatan dari ”Segere Kudu
Leren” ( Nikmatnya kalau
Berhenti/ Beristirahat)
Kalimat ”Segere
Kudu Leren” itu mengandung pesan
yang unik, pesan yang dimaksud adalah merupakan himbauan kepada siapapun yang
ingin menikmati desa Gerduren harus berhenti, tidak bisa hanya sebentar atau
lewat saja, atau hanya menilai dari luar saja akan tapi harus Leren
(berhenti/menetap/lama).
Pada kenyataanya
sekarang memang banyak sekali orang lain yang mengatakan Desa gerduren itu
Ndeso dan sebutan lain yang menunjukan ketertinggalan dengan desa-desa di kota
akan tetapi begitu tinggal lama di Gerduren mereka makin betah dan terasa
segar.
2. Jaman Pasir Luhur (Kisah II)
Cerita ini dimulai dari babad pasir luhur, dimana dari keduapuluh lima
anaknya Adipati Pasir Luhur salah satunya dikawinkan dengan Mbah Lemajang yang
kemudian Mbah Lemajang ini diangkat oleh Adipati untuk menjadi Bupati di
wilayah selatan dan tugas utama Mbah Lemajang adalah membantu sang adipati
untuk membagi wilayah kabupaten yang ada di wilayah Pasir Luhur, diantaranya :
Kabupaten ajibarang,........... dan dari tugasnya itulah kemudian Mbah Lemajang
ini dikenal dengan sebutan Mbah Carik dan disebut juga Mbah Lemajang karena
tugasnya selaku Bupati yang dipercaya untuk membagi wilayah (lemah ajang).
Didalam cerita
mbah Lemajang ini memiliki seorang anak yang diberi nama Raden Kanoman/Made
Kanoman dan oleh ayahnya Raden Kanoman ini disuruh pergi ke Pasir Luhur untuk
mengabdikan dirinya menjadi prajurit, bersama dua orang temanya Raden Kanoman
pergi menuju Pasir Luhur melintasi hutan gerbunder dan keluar di hutan Jatisaba
(sekarang wilayah Cilongok)
Sesampai Made Kanoman bersama dua orang temanya di depan kadipaten Pasir
Luhur dia tidak langsung masuk ke gerbang kadipaten, dia merasa ragu untuk
menghadap, lalu mereka bertiga beristirahat
duduk di bawah pohon beringin, barangkali karena kecapaian merekapun
tertidur sampai kemudia keberadaan mereka di depan gerbang diketahui oleh
seorang prajurit yang sedang berpatroli keliling kadipaten, dengan hati-hati
dan waspada prajurit ini memandangi dan mengamati satu persatu mereka bertiga,
ketika pandanganya baru tertuju pada Made Kanoman, mengamati wajahnya, prajurit
ini curiga di dalam hatinya mengatakan ”pasti
satu orang ini bukan orang biasa”, tentu saja karena Made Kanoman
tidak tampak seperti rakyat biasa dia adalah seorang pemuda yang tampan dan
gagah, lalu dibangunkanya tiga orang tersebut oleh prajurit tadi, namun
tiba-tiba ketika Made Kanoman baru mau disentuh untuk dibangunkan dia langsung
meloncat kebelakang prajurit tersebut dan di pegangnya kuat- kuat pundak
prajurit itu.
Sambil terus
dipegangnya prajurit tadi kemudian terjadilah dialog antara Made Kanoman dengan
prajurit tersebut, hampir saja kesalah pahaman ini menjadi perselisihan antara
prajurit dengan Made Kanoman, menyadari bahwa yang dipegang adalah seorang
prajurit Pasir Luhur Made Kanoman langsung melepaskanya dan meminta maaf atas
tingkah lakunya itu.
Setelah terjadi
komunikasi, prajurit itu langsung dilepas oleh Made Kanoman dan diapun
menghadap kepada Adipati untuk menyampaiakan kejadian itu dan menyampaikan
maksud kedatangan Made Kanoman bersama dua orang temanya ke Pasir Luhur.
Selang beberapa
waktu prajurit itu datang kembali dan di ajaklah mereka bertiga masuk ke dalam
kadipaten untuk menghadap Kanjeng Adipati.
Begitu menghadap
mereka bertigapun diterima dengan baik dan sebelum Made Kanoman menyampaikan
maksud kedatanganya, sang Adipati terkesima melihat ketampanan Kanoman dia
langsung mengatakan ”Jika kalian bertiga benar ingin mengabdikan diri
di kadipaten ini seperti yang diceritakan oleh prajurit, maka dengan senang
hati saya terima, tetapi dengan satu syarat”
Made Kanoman dan
dua orang temanya pun diterima, akan tetapi syaratnya Made Kanoman yang memang
masih bujang dan tampan itu harus mengawini salah seorang putri dari kadipaten
tersebut. (kemungkinanya adalah agar Made Kanoman tidak lagi pergi kemana-mana
dan menjadi satu kekuatan di Pasir Luhur).
Made Kanoman
begitu mendengar titah adipati kalu dia di terima sebagai prajurit apalagi dia
harus mengawini putri Pasir Luhur dia sangat girang dan gembiranya karena apa
yang diinginkanya ternyata terkabul bahkan dia merasa berdebar debar hatinya
ketika dia diminta untuk mengawini salah seorang putri Pasir Luhur, sejak saat
itulah Made Kanoman dihinggapi pikiran dan rasa tinggi hati, malam hari di
barak prajurit dia tak bisa tidur semalaman memikirkan dan membayangkan wajah
putri seperti apa yang bakal menjadi istrinya.
Setelah satu
hari satu malam dia beristirahat di bedeng prajurit, pagi harinya Made Kanoman
di panggil oleh sang adipati disuruhnya dia pulang dulu untuk menyiapkan diri
dan berpamitan kepada keluarganya. Tanpa berfikir panjang setelah selesai
pembicaraan dengan sang adipati dia langsung berpamitan untuk pulang ke
Gerbunder menyampaikan hasil dan sekalian meminta restu kepada Bapanya Ki Made
Kusuma untuk mengabdikan dirinya di Pasir Luhur.
Dengan di kawal
oleh seorang prajurit Pasir Luhur pagi itu Made Kanoman beserta dua orang temanya
pulang ke Gerbunder melewati hutan Jatisaba yang menjadi jalan ketika
berangkatnya kemarin.
Di tengah hutan
mereka terus berjalanan akan tetapi mereka merasa sangat aneh karena tidak
menemukan jalan waktu berangkat, kesombongan, tinggi hati yang menghinggapi
pikiran Made Kanoman telah menyesatkan jalan mereka sehingga mereka tersesat,
terus berputar-putar sebagai peringatan Tuhan.
Perjalanan sudah
satu setengah hari, capai, haus, lapar dan dahaga memaksa mereka menghentikan
perjalanya. Sambil beristirahat Made Kanoman merenungi kenapa dia jadi
tersesat, gelap tidak tau arah kemudian dia menyadari perasaan sombong dan
getaran cinta telah mengotori pikiranya, dia telah terbentur asmara tak
menentu, dia yakin betul perasaan itulah yang membuat dia tersesat, kemudian
Made Kanoman mengambil sebuah batu kemudian ditancapkan sambil menggerutu ”aku
ketranggul asih” (saya terbentur
asmara), sejak saat itulah tempat itu dinamai ”Tranggul Asih” , begitu
batu ditancapkan suasana menjadi berubah terang dan sadarlah mereka bahwa
ternyata perjalanan sudah sampai di perbatasan hutan Gerbunder, mereka kemudian
meneruskan perjalananya akan tetapi ketika mereka baru berjalan beberapa meter
perasaan lapar dan dahaga tak bisa ditahan dan memaksa mereka menghentikan langkahnya,
merekapun beristirahat lagi untuk mencari air atau apapun untuk mengobati rasa
lapar dan dahagnya.
Tiba-tiba ketika
mereka tengah duduk beberapa waktu di bawah pohon di tengah hutan perbatasan
Gerbunder tercium bau harum yang cukup menyengat, lalu Made Kanoman menyuruh
temanya untuk mencari sumber bau tersebut, dan ditemukanlah ternyata sumber bau
tersebut berasal dari buah yang berduri
tergeletak di semak, mereka berempat tidak tau apa nama buah itu karena memang
pada jamanya pohon tersebut tidak ada di pedesaan dan hanya ada satu satunya
terletak di hutan tersebut, saking penasaranya kemudian Made Kanoman menyuruh
temanya untuk mengupas buah tersebut, kemudian dibelah buah itu dengan
pedangnya, rasa lapar mendorong mereka untuk mencicipinya dan disuruhlah salah
seorang untuk mencicipi.
“waahh manis,
enak kaya madu”! kata salah seorang setelah menjilat isi buah tersebut,
kemudian tanpa basa basi mereka
melahapnya, begitu habis satu buah, Made Kanoman lalu menyuruhnya
agar semua buah yang tergeletak disemak
diambili sampai kemudian mereka kenyang.
Selesai makan
prajurit pengawal bertanya pada Made
Kanoman “apa nama buah ini raden kok enak dan manis ya”? Made
Kanoman pun bingung kemudian Made Kanoman menjawab “ saya juga tidak tahu
apa nama buah ini, tapi kalo dilihat kulitnya yang berduri dan manisnya kaya
madu, maka buah ini kita beri nama buah ”Madu Eri saja” Pada perkembanganya
buah ini lazim disebut dengan buah ”Duren” yang dalam bahasa Indonesia disebut
dengan buah ”Durian” berasal dari kirata
basa atau singkatan dari ”du” itu ”Madu” dan ”ri” itu ”eri” (duri)
”Ohh ya
betul Raden dan kita bawa pulang beberapa buah untuk oleh-oleh”
Ditengah
lahapnya mereka menikmati buah durian, tiba-tiba Made Kanoman menghentikanya ”sebentar
teman-teman, saya merasa ada yang aneh dari buah ini, bukankah ketika berangkat
kemarin kita juga lewat disini,
dan
kemarin tidak ada pohon ini disini, tapi kenapa tiba-tiba ada pohon ini?”
”Terus
bagaimana Raden?”
”Baiklah
mari stelah cukup istirahat ini, kita lanjutkan perjalanan ini dan besok lusa
kita coba lihat kesini lagi”
Dengan perut
yang kenyang mereka kembali meneruskan perjalanan pulang ke Gerbunder,
sesampainya di rumah Made kanoman langsung menyampaikan hasil kunjunganya ke
Pasir luhur bahwa dia diterima sebagai prajurit, lalu dia juga memperkenalkan
prajurit yang mengawalnya kepada ayahnya, juga mengutarakan semua
kejadian-kejadian aneh yang dialaminya dalam perjalanan pulang tadi. Ketika mau
menyampaikan bahwa dia akan dikawinkan juga dengan putri Pasir Luhur dia merasa
ragu, ahirnya prajurit pengawal yang menyampaikanya. Mendengar semua cerita
anaknya, Ki Made Kesuma tidak menunjukan rasa gembiranya bahkan dia langsung
terdiam beberapa waktu seperti menyimpan kehawatiran, kemudian dengan nada
datar dia menyuruh anaknya ” ”Saya sudah tahu nak, untuk memberikan restu,
kamu masih satu langkah lagi, jika kamu berhasil maka berhasil pula apa yang
menjadi keinginanmu nak” Kata Ki Made Kesuma pada anaknya.
”Baik
Ayah, apa yang harus saya lakukan agar dapat tercapai semua keinginanku?” Jawab
Made Kanoman pada ayahnya.
”pada
malam Rabu wage besok pergilah kamu bersemedi di bawah pohon yang kamu makan
waktu pulang dari Pasir Luhur itu nak”
”Baik
ayah saya akan coba”
Berangkatlah
Made Kanoman menelusuri Gunung Gerbunder menuju pohon durian tersebut pada
malam rabu wage, duduklah Made Kanoman dibawah Pohon durian tadi untuk
bersemedi, pada malam pertama tidak ada masalah apa-apa, baru di tengah malam
kedua dia merasa tiba-tiba turun hujan
lebat sekali, petir menyambar-nyambar membuat situasi jadi menegangkan, dia
terus mencoba bertahan, tapi makin lama petir terasa mau menyambarnya, dingin
sudah menusuk ke jantungnya, saking dingin dan takut disambar petir diapun
tidak tahan lagi dia berlari tunggang langgang naik ke bukit mencari tempat
berteduh, petirpun menyambar-nyambar dan rasa dingin yang menusuk, setelah
sampai dibukit dia melihat ada rumah luas yang terang benderang dan terdengar
lantunan musik bambu (calung), lalu tanpa pikir panjang dia masuk kedalam rumah
itu untuk berteduh, oleh tuan rumah dia disuruh duduk pada risban kayu (kursi
panjang), dan tuan rumah meyalaminya sambil memperkenalkan diri ”Saya Ki
Serut yang tinggal di sini, silakan duduk kisanak” lalu Made Kanoman duduk
sambil terus kedinginan dan ketakutan.
”Ki
sanak ini siapa, dan darimana kok berlarian seperti ada yang mengejarnya ”
” Maaf
Ki Serut, saya disuruh bersemedi oleh ayah saya di bawah pohon buah madueri di
balik lembah ini, tetapi tiba-tiba hujan turun sangat lebat dan saya seperti
dikejar petir hingga saya berlari dan masuk rumah Ki Serut ini saya mohon maaf” tutur Made Kanoman dengan ter engah-engah
”Tidak
papa ki sanak, biar nanti hujanya kan berhenti, jangan kuwatir” lalu Ki
Serut keluar rumah melepas ikat kepalanya dikibaskanya ikat kepala itu, lalu
hujan pun berhenti seketika, Made Kanoman juga tak lagi kedinginan, pakainya
yang basah kuyup menjadi kering kembali, rasa heran menyelimuti Made Kanoman
tapi dia tak kuasa mengatakanya.
”Terus
Ki sanak punya maksud apa kok bertapa disana?”
”Saya hanya
mematuhi perintah ayah saya Ki” Jawab Made Kanoman
”Ooh,
memang benar patuhilah orang tuamu, kalau kamu berani membatah orang tuamu,
maka kamu pasti akan mati sia-sia, ingat itu” tandas Ki Serut
”Baik Ki
dan terimakasih atas nasehatnya” jawab Made Kanoman
Lalu Made
Kanoman bertanya lagi ”Sebenarnya ini desa apa ki?”
”Oooh,
ini namanya Desa Ger du ren ! ki sanak yang artinya Segere Kudu Leren (Segarnya
Kalau Berhenti) tidak boleh serampangan saja kalau mau menikmati desa ini ya” Jawab Ki
Serut sambil tersenyum Made Kanoman pun Manggut-manggut lalu bertanya
lagi.
”lalu
saya mendengar suara ramai dengan tetabuhan bambu itu apa ki?’
”ooh
itu, itu si Kastinem sedang berlatih lengger, karena dia sebagai pelatih
lengger di desa ini ki sanak, dia asalnya dari jawa barat ki sanak” kata Ki
Serut.
Ditengah obrolan
mereka nini Serut tiba-tiba muncul dari dalam rumah membawa buah durian yang
sudah dibelah dan ”silakan nak, ini kami baru panen durian ayo dimakan” sapa Ni Serut pada Made Kanoman
”iya
terimakasih Ni” Jawab Made Kanoman
sambil heran kok buah itu disebut Duren oleh Ni Serut
”Ki
sanak” lanjut Ki Serut
membrikan wejangan”Kelak desa ini akan menjadi desa yang sangat terkenal
sampai ke negeri manca dengen lenggernya lho, tapi pada masanya juga desa ini akan
ada keluarga yang durhaka kepada orang tuanya, tidak mengakui
saudara-saudaranya karena orang tua dan saudara-saudaranya tidak mau mengikuti
ajaran yang dia peroleh dari negeri gunung pasir panas” lalu Ki Serut menawarkan buah durian tadi ”ayo
kisanak di cicipi, ini durian asli sini dan manis kaya madu coba ayo dan kalau
sampai rumah nanti sampaikan salam saya pada ayahmu ya, saya sangat hormat pada
ayahmu” Made Kanomanpun mengambil
satu biji durian tersebut, tapi ketika durian itu dimasukan kedalam mulutnya
tiba-tiba dia terlempar jauh kembali ketempatnya dia bertapa dia kaget bukan
kepalang karena tiba-tiba menjadi gelap
gulita, dia terkejut juga ketika menyadari ternyata pohon durian tempatnya
bertapa telah lenyap entah kemana dan dia hanya bersandar pada kayu serut yang
kecil.
Dengan peristiwa
itu Made Kanoman tidak melanjutkan pertapaanya tapi dia langsung pulang kerumah
malam itu juga dan sesampai dirumah dia menceritakan semua kejadian kepada ayahnya.
Kejadian itulah
yang menandai penamaan Desa Menjadi Desa Gerduren dan di percaya bahwa lahirnya
pada hari kamis kliwon seperti kejadian Made Kanoman pada pertapaanya malam
kamis kliwon.
Jika mengacu pada hasil penelusuran ini, maka pendapat lain yang
menyebutkan bahwa Arti Kata Gerduren berasal dari singkatan Gardu kanggo Leren
(Gardu Buat Istirahat) tidak sesuai dengan kisah yang ada dan ada pendapat lain
yang mengatakan bahwa Gerduren adalah Singkatan dari Igir Duren juga tidak
sesuai, karena dari cerita yang dihimpun tentang Made Kanoman menyebutkan dalam
hasil semedinya bahwa Gerduren adalah Singkatan dari ”Segere Kudu Leren” ( Nikmatnya kalau Berhenti/ Beristirahat)
Pendapat terahir
dalam stiap putaran FGD Sejarah Desa ternyata ”segere kudu leren”
mendapat apresiasi paling antusias dari masyarakat Gerduren.
Kalimat ”Segere
Kudu Leren” itu mengandung pesan
yang unik, pesan yang dimaksud adalah merupakan himbauan kepada siapapun yang
ingin menikmati desa Gerduren harus berhenti, tidak bisa hanya sebentar atau
lewat saja, menilai dari luar saja tapi harus Leren (berhenti/menetap/lama).
Pada kenyataanya
sekarang memang banyak sekali orang lain yang mengatakan Desa gerduren itu
Ndeso dan sebutan lain yang menunjukan ketertinggalan dengan desa-desa di kota
akan tetapi begitu tinggal lama di Gerduren mereka makin betah dan terasa
segar.
Ahir cerita Made Kanoman menghilang entah dimana rimbanya setelah
mengunjungi pernikahan putri Gendurek Kecmatan Jatilawang.
Made Kanoman
yang membangkang dan menolak kehendak Bapanya (Made Kusuma) yang menginginkan
agar Kanoman mengawini putri Gendurek anak dari Tukang Kayu yang mendirikan
Tempat Tinggalnya di Gerbunder, tetapi karena sudah terlanjur mengiyakan
tawaran Adipati Pasir Luhur untuk mengawini putri Pasir luhur maka dia
menolaknya.
Made kanoman
merasa bimbang dan menyesal karena putri Gendurek yang sudah dilamar oleh orang
tuanya dan ditolaknya itu ternyata
cantik sekali dan Made Kanoman pun menyesal setelah melihat kecantikanya dan
diapun jatuh cinta.
Hari-harinya
Made kanoman diliputi rasa bingung dan bimbang mau memilih yang mana antara
Putri Pasir Luhur yang belum tahu seperti apa kecantikanya atau putri Gendurek
yang memang benar benar cantik, tapi dia sudah terlanjur menolaknya.
Kebimbngan dan
kebingungan Made Kanomanpun memuncak maka gelaplah hati Made Kanoman, saking
bimbangnya maka pada upacara pernikahan putri Gendurek dengan pemuda lain, Made
kanoman datang ke Gendurek tepat sedang kiraban
pengantin,
begitu sampai di Gendurek dia melompat pagar jaro menerobos kerumunan orang
langsung mencabut keris pengantin prianya dan ditusuklah pengantin pria itu,
keris itu direbut oleh pengantin putri kemudian pengantin putri menusuk dirinya
hingga mati, makin kalut hati Made Kanoman,
dicabutlah keris dari perut pengantin putri itu, untuk mengahiri
cintanya yang terbelah diapun sambil terus menusuk-nusuk dirinya dengan keris
pengantin tersebut sambil terus berlari. (ada pendapat dia mati di Tunjung
dalam perjalanan pulang dari Gendurek, ada kemungkinan juga dia mati sudah
hampir sampai dirumahnya yang sekarang menjadi Panembahan Sumingkir)
(cerita
ini sudah didokumentasikan oleh Dinas
Kebudayaan Kecmatan Purwojati ditulis oleh Bapak Tun Tamat selaku Penilik
Kebudayaan di kecmatan Purwojati tahun.......s/d)
Gerduren
2011
Pokmas ”Sekar Wigati”